Senin, 16 Juli 2012

faktor yang mempengaruhi mutu ikap asap menurut para ahli

Beberapa komponen penyusun protein (asam amino) dalam bahan pangan mengalami kerusakan selama pengolahan yang mengakibatkan penurunan kandugan protein (Basmal, 1996 dalam Kilay, 1999).
Pengolahan bahan pangan selama pemanasan, merupakan salah satu cara yang penting dikembangkan untuk memperpanjang simpanan bahan pangan. Walupun demikian, pengolahan juga dapat merugikan pada  zat gizi, karena panas dapat mendegradasi kandungan zat. Kerana itu pengolahan dengan cara pemanasan dan menaikan ketersediaan bahan pangan untuk konsumen, namun bahan pangan tersebut kemungkinan mempunyai kadar gizi yang rendah (bila dibandingkan dengan keadaan segar). Lisin sebagai salah satu komponen penyususn protein dapat rusak selama pengolahan  karena senyawa tersebut dapat rusak selama pengolahan karena senyawa tersebut peka terhadap perubahan pH, cahaya panas atau kombinasinya (Finley, 1995 dalam Kilay, 1999). Kadar lisin akan menurun bila suhu pemanasan ditingkatkan, pemanasan yang dilakukan pada suhu 700 C sampai dengan 800 C akan menonaktifkan enzim (Basmal, 1997 dalam Kilay, 1999).
Air merupakan salah satu komponen yang paling penting dalam mempengaruhi kualitas gizi bahan pangan. Pertumbuhan mikroorganisme tergantung dari ketersediaan air. Aktivitas air (aw) adalah air yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, bahan pangan (ikan) yang terlalu lama dibiarkan dalam air sebelum pengolahan akan meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang sangat berpengaruh terhadap penurunan kandungan gizi ikan tersebut (Zaeni, 1995 dalam Kilay, 1999).
D. Ikan komu Asap/Asar
Pengasapan adalah salah satu cara memasak, memberi aroma, atau proses pengawetan makanan, terutama daging. Bahan pangan  diasapi dengan panas dan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu,  dan tidak diletakkan dekat dengan api agar tidak terpanggang atau  terbakar. Pengasapan sudah sejak lama dilakukan oleh nelayan di negara kita (Suryanto, 2009 dalamHimawati, 2010). Ada dua cara pengasapan yaitu  cara tradisional dan cara dingin. Pada cara  tradisional, asap dihasilkan  dari pembakaran kayu atau biomassa lanilla (misalnya sabuk kelapa, serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara dingin, bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan (Himawati, 2010).
Pengasapan ikan dikelompokan menjadi dua jenis yaitu : pengasapan panas dan pengasapan dingin. Proses pengasapan panas jauh lebih cepat, tetapi tidak menjamin ketahanan untuk disimpan lama. Hasil olahan pengasapan panas ikan tetapi tidak keras sebab unsur airnya hanya sebagian yang diserap asap. Suhu pengasapan panas dapat mencapai 600C - 1000C, karena ikan diletakan dekat sumber panas. Pengasapan dingin membutuhkan waktu yang cukup lama, dimana dengan cara yang lambat air pada ikan diserap sedikit demi sedikit. Ukuran suhu pada pengasapan dingin mencapai 300C - 400C, karena ikan diletakan jauh dari sumber asap. Hasil olahan pengasapan dingin ikan menjadi lebih gempal/keras dan tahan disimpan lama (Anonim, 2009).
Pengolahan ikan secara tradisional dilakukan secara umum oleh masyarakat nelayan di sepanjang pantai dan tempat pendaratan ikan. Pada umumnya pengolahan dilakukan secara tradisional dan turun temurun. Pengolahan ikan secara modern seperti pengalengan dan pembekuan sulit untuk dilakukan karena membutuhkan pasokan bahan baku yang bermutu tinggi, jenis dan ukuran yang seragam serta harus tersedia dalarn jumlah yang banyak sesuai dengan kapasitas industri. Selain itu corak perikanan saat ini masih bersifat perikanan rakyat dengan 90% armada perahu motor kecil, jumlah tangkapan yang sedikit, persebaran yang sangat besar (Dirjen Perikanan Tangkap, 2005 dalam Masithoh, 2008).
Ciri khas yang menonjol dari pengolahan tradisional ini adalah jenis dan bahan baku serta bahan pembantu yang sangat bervariasi dan kondisi lingkungan yang sulit dikontrol. Cara, proses dan prosedur selalu berbeda menurut tempat, individu dan keadaan. Juga lebih banyak tergantung kepada faktor alam, perlakuan yang tidak terukur secara kuantitatif sehingga proses tidak dapat diulang dengan hasil yang identik. Akibatnya, produk yang dihasilkan, kualitasnya tidak dapat seragam, jumlah yang didapatkan juga tidak tentu. Kondisi ini mengakibatkan hasil yang diperoleh sulit untuk distandarisasikan. Agar diperoleh produk yang aman dengan mutu yang terjamin, proses pengolahan harus dilakukan secara baku. Standarisasi hendaknya dilakukan mulai dari bahan baku, bahan pembantu, proses pengolahan, sampai lingkungan pengolahan. Kondisi fisik dan bakterial, komposisi kimia, serta kesegaran bahan baku dan bahan pembantu harus diketahui untuk memilih proses pengolahan yang tepat. Melalui standarisasi, konsumen akan mendapatkan produk yang sesuai dan yang setara kualitasnya. Kondisi ini juga akan membuka peluang pengembangan pemasaran produk olahan tradisional. Pemilihan proses pengolahan harus didasarkan pada ciri kerusakan spesifik dan masa simpan yang diinginkan. Hal terpenting dalam standarisasi ialah melakukan proses dengan terukur, antara lain dalam jumlah, bobot, takaran, komposisi, tingkat kesegaran, suhu dan waktu agar (Bulletin P3K, 2004 dalam Masithoh, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar