Senin, 25 Juni 2012

Penyakit Infeksi Sistemik pada Kehamilan, Segi Praktis Pengenalan dan Penatalaksanaannya


Infeksi didefinisikan sebagai invasi dan pembiakan mikro-organisme di jaringan tubuh, dengan akibat yang mungkin dapat dideteksi secara klinis atau hanya merupakan jejas seluler lokal1. Secara praktis, Infeksi dapat bergejala dan memberikan tanda klinis, dapat pula tidak terdeteksi.
Infeksi disebut bersifat sistemik, bila mengenai tubuh secara keseluruhan. Infeksi sistemik, dibedakan dengan infeksi fokal, yang merupakan infeksi yang terbatas pada organ/jaringan tubuh tertentu1. Secara praktis, infeksi sistemik memberikan gejala demam, peningkatan respirasi dan denyut nadi, serta memperlihatkan keterlibatan yang jelas sistem organ lain. Beberapa infeksi sistemik akan dibahas dalam makalah ini, khususnya dalam kaitan dengan pengaruh, pengenalan dan penatalaksanaannya pada kehamilan.

Dalam memahami seberapa besar pengaruh infeksi terhadap individu, perlu dipahami konsep dasar penyakit infeksi, yaitu adanya interaksi antara 3 komponen : host (pejamu/individu), agent (kuman penyakit, bisa berupa bakteri, jamur, virus, protozoa, parasit), dan environment (lingkungan). Penyakit infeksi terjadi karena terdapat hubungan antara 3 komponen tersebut. Berat infeksi akan ditentukan oleh sifat yang terdapat pada 3 komponen tersebut. Rangkuman hal tersebut disajikan pada tabel 12. Kehamilan merupakan salah satu faktor pada komponen host, yang berpengaruh terhadap perjalanan penyakit infeksi.
Tabel 1. Berbagai Faktor Penentu Perjalanan Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi pada kehamilan membawa masalah khusus yang khas sebagai berikut. Pertama, penyakit infeksi mungkin mengakibatkan komplikasi (penyulit) bagi kehamilan. Hal ini cukup sering terjadi. Komplikasi kehamilan akibat penyakit infeksi meliputi kematian janin, cacat congenital, penularan kuman langsung dari ibu ke janin (transmisi vertikal), dan proses patologis kehamilan lain3,4,5,6.
Kedua, kehamilan mungkin memperburuk perjalanan penyakit infeksi, meningkatkan mobiditas dan mortalitas ibu akibat penyakit tersebut. Kemungkinan ini lebih jarang terjadi4.
Ketiga, penatalaksanaan infeksi pada kehamilan memerlukan penyesuaian. Terapi obat harus aman serta tidak membahayakan kehamilan dan janin, disamping efektif mengatasi infeksi. Dokter harus memperhatikan pregnancy risk category untuk tiap obat yang akan diberikan pada ibu tersebut. Pengelompokan obat sesuai pregnancy risk category dapat dilihat pada buku informasi obat standar, seperti MIMS atau Indonesian Index of Medical Specialities (IIMS)7. Obat dengan kategori A – B cukup aman diberikan pada ibu hamil. Kategori C, dokter harus mempertimbangkan dengan cermat risiko-manfaat pemberian obat tersebut. Kategori D hanya diberikan bila keselamatan ibu terancam, dan kategori X tidak boleh diberikan.
Ilustrasi kasus8. Terdapat dua kasus diangkat dari pengalaman klinik di RS PKU Muhammadiyah Surakarta, yang memperlihatkan sisi komplek kehamilan disertai penyakit infeksi. Kasus 1, Ibu Y, hamil aterm dengan keluhan ikterus dan kedua kaki bengkak, napas sesak. Pemeriksaan viral marker memperlihatkan anti hepatitis C virus reaktif. Diagnosis : hepatitis C dengan kehamilan, komplikasi kardiomiopati peripartum. Dilakukan penatalaksanaan suportif untuk gagal jantung dan hepatitis C, kemudian dilakukan SC. Ibu dan bayi baik.
Kasus 2, ibu X, hamil preterm dengan demam 7 hari, perdarahan pervaginam , hasil laboratorium trombositopenia. Diagnosis : DHF grade II dengan kehamilan. Penatalaksanaan suportif. Ibu membaik dengan anemia postpartum, janin abortus.

HEPATITIS VIRUS
Hepatitis berasal dari kata hepat + itis, yang berarti peradangan hati. Hepatitis virus berarti peradangan hati karena infeksi virus. Terdapat setidaknya 5 virus penyebab hepatitis yang sudah dikenal luas, virus A, B, C, D, E. Masing-masing mengakibatkan penyakit hepatitis virus A, B, C, D, E.
Dua jenis hepatitis virus penting dalam pembahasan infeksi pada kehamilan. Hepatitis B, dianggap penting karena berpotensi transmisi vertikal ke janin, maupun transmisi ke petugas medis. Hepatitis E, penting karena jenis hepatitis ini berpotensi berkembang menjadi hepatitis fulminan (hepatitis berat) bila terjadi pada kehamilan. Pada tabel 2 dirangkum berbagai jenis hepatitis virus, jalur transmisi, gambaran klinis, penanda virus, maupun usaha pencegahan9,10,11.
Apabila didapatkan wanita hamil dengan hepatitis virus, maka terdapat dua kemungkinan proses penyakit yang berbeda9. Pertama, terjadi infeksi virus hepatitis secara kebetulan (ko-insidensi) pada wanita hamil tersebut. Dalam hal ini, infeksi tersebut umumnya bersifat akut. Kejadian ini relatif lebih sering terjadi dibandingkan kemungkinan kedua.
Kehamilan umumnya dilaporkan tidak menambah berat perjalanan penyakit hepatitis virus yang terjadi, kecuali untuk hepatitis virus E4. Kondisi patologi yang lebih berat ini dikaitkan juga dengan status nutrisi yang buruk, terutama defisiensi protein3,4.
Kedua, kehamilan terjadi pada wanita yang sebelumnya sudah menderita hepatitis virus. Dalam hal ini, terdapat kemungkinan hepatitis tersebut bersifat kronis. Kemungkinan kedua ini lebih jarang, mengingat kehamilan umumnya jarang pula terjadi pada pasien hepatitis kronis. Pada keadaan ini, risiko morbiditas / mortalitas ibu hamil akan meningkat sejalan dengan beratnya hepatitis kronis4.
Gejala dan tanda klinis hepatitis meliputi : demam, mual dan muntah, kelemahan, sklera berwarna kuning (ikterik), BAK berwarna seperti air teh, dan pembesaran hati saat palpasi. Kepastian diagnosis didapatkan dengan pemeriksaan laboratorium, yaitu peninggian SGOT, SGPT, dan (umumnya) bilirubin serum. Pemerisaan penanda virus (viral marker) yang positif memastikan jenis virus penyebab hepatitis.
Tindakan preventif hanya dapat dilakukan untuk hepatitis virus A dan B, untuk individu yang belum pernah terkena infeksi virus tersebut. Prinsip pengobatan pasien hepatitis virus bersifat suportif, meliputi antara lain istirahat yang cukup, pemberian suplemen, dan pada kondisi khusus obat anti viral (misal lamivudine pada hepatitis B). Pencegahan transmisi ke janin dilakukan dengan skrining HBsAg untuk semua ibu hamil, selanjutnya pemberian imunoglobulin anti hepatitis B pada bayi baru lahir dalam 24 -72 jam pertama untuk ibu dengan HBsAg (+). Pasien dengan keadaan umum lemah, atau nilai SGOT, SGPT, dan bilirubin cukup tinggi sebaiknya dirawat di RS. 

DEMAM BERDARAH DENGUE
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus dengue, dengan jalur transmisi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit DBD mengakibatkan demam, kecenderungan perdarahan, trombositopenia, dan kebocoran plasma12.
Kehamilan tidak mempengaruhi perjalanan klinis DBD. Penyakit ini hampir tidak pernah mengakibatkan kelainan kongenital, tetapi kematian janin mungkin terjadi5. Pada pasien hamil dengan risiko tinggi perdarahan (misal plasenta previa), infeksi DBD dengan trombositopenia menambah risiko perdarahan. Demikian pula terdapat kenaikan risiko perdarahan dan anemia postpartum6.
Tansmisi vertikal virus dengue, meskipun jarang, telah dilaporkan. Keadaan ini umumnya terjadi bila infeksi dengue terjadi menjelang kelahiran dan mengakibatkan bayi baru lahir mengalami kondisi klinis seperti DBD pada umumnya6.
Penyakit DBD didiagnosis berdasarkan kriteria WHO 1986, meliputi :
- Kriteria klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas terus menerus 2-7 hari, manifestasi perdarahan, pembesaran hati, syok/kegagalan sirkulasi dan perfusi
- Kriteria laboratoris : trombositopenia<100.000, hemokonsentrasi/peningkatan hct >=20%
DBD didiagnosis bila terdapat minimal 2 tanda klinis, trombositopenia & hemokonsentrasi.
Tindakan pencegahan DBD meliputi menghindari gigitan nyamuk, fogging fokus, abatisasi, dan pemberantasan sarang nyamuk12. Penderita harus disarankan banyak minum air, menghindari pemakaian salisilat atau obat anti inflamasi non steroid lain (misal ibuprofen)13. Panas badan dapat dicoba diatasi dengan kompres dan bila diperlukan dengan parasetamol. Antibiotika pada dasarnya tidak perlu diberikan. Pasien perlu mendapat perhatian saat panas mulai turun, atau bila ada keluhan nyeri perut, mual dan muntah13.
DEMAM TIFOID
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi, mengakibatkan gejala khas : demam, nyeri kepala, nyeri perut, dan penurunan kesadaran.
Dalam hubungan dengan dengan kehamilan, tidak dilaporkan bahwa kehamilan akan memperberat perjalanan penyakit demam tifoid. Demam tifoid dapat mengakibatkan komplikasi peningkatan risiko abortus/partus prematurus. Pada umumnya, risiko berakhirnya kehamilan pada ibu yang terserang demam tifoid semakin tinggi bila infeksi terjadi saat kehamilan berusia muda3.
Transmisi kuman Salmonela typhi terjadi melalui oral, kontaminasi makanan/minuman dengan kuman tersebut. Penyakit ini mengakibatkan gejala demam, yang naik bertahap (tidak mendadak tinggi, seperti kebanyakan infeksi virus). Keluhan perut umumnya selalu ada, dapat berupa diare, nyeri, atau konstipasi. Lidah tampak kotor, tremor, dengan tepi hiperemis. Nadi dapat memperlihatkan bradikardi relatif, dengan nadi per menit yang tidak sesuai (terlalu lambat) dibandingkan suhu badan yang tinggi. Laboratorium didapatkan lekopenia dan trombositopenia (tidak seberat trombositopenia pada DBD).
Tindakan preventif terhadap demam tifoid adalah menjaga kebersihan makanan, minuman, dan tentu saja peralatan/tangan yang dipergunakan. Prinsip pengobatan demam tifoid adalah terapi antibiotika. Terapi pendukung lain meliputi diet (cukup lunak dan rendah serat), serta tirah baring sampai panas hilang. Pada kehamilan dapat diberikan antibiotika golongan sefalosporin generasi III (seftriakson untuk injeksi, sefiksim untuk oral). Golongan kuinolon (siprofloksasin, misal) yang saat ini termasuk pilihan utama untuk demam tifoid, umumnya tidak diberikan selama masih ada obat lain yang lebih aman. Ampisilin dan amoksisilin aman untuk kehamilan, tetapi terdapat problem resistensi kuman terhadap keduanya. Kloramfenikol memiliki dua masalah, resistensi kuman yang berkembang serta katagori keamanan C untuk kehamilan.

VARICELLA
Varicella/chickenpox atau sering disebut cacar air, merupakan infeksi akibat virus varicella-zoster (VZV) atau human herpes virus-3 (HHV-3). Varicella memberikan gambaran khas munculnya lesi di kulit yang bersifat makulo-papuler, berkembang menjadi vesikel, pustula, dan akhirnya menjadi krusta/keropeng.
Kehamilan cenderung memperburuk perjalanan penyakit varicella. Infeksi varicella pada kehamilan meningkatkan risiko kejadian komplikasi pneumonia. Infeksi varicella pada trimester awal kehamilan memunculkan risiko kelainan kongenital, sebesar 0,4 – 2%. Pada infeksi yang terjadi pada akhir kehamilan (secara kesepakatan ditetapkan 5 hari sebelum atau sesudah kelahiran) memunculkan risiko transmisi vertikal, yang dapat mengakibatkan bayi baru lahir mengalami infeksi varicella berat14.
Infeksi varicella yang menyembuh memasuki periode laten, dalam hal ini, masih mungkin terjadi infeksi dalam bentuk herpes zoster pada waktu mendatang, bila daya tahan turun.
Jalur transmisi varicella melalui inhalasi/droplet infection, yang dianggap mulai infeksius sejak 2 hari sebelum lesi kulit muncul. Kemungkinan lain penularan terjadi melalui lesi di kulit. Lesi di kulit dianggap tidak infeksius setelah semua menjadi krusta, dengan kemungkinan penularan terjadi sampai 10 – 21 hari (rata-rata 15 hari, sejak awal muncul lesi kulit)15.
Tanda awal varicella mungkin mirip gejala flu, dengan malaise dan demam, diikuti munculnya lesi kulit yang khas15. Pada satu periode waktu didapatkan lesi berupa makula, papula, vesikel/pustula, dan krusta, dengan lokasi tersebar/tidak berkelompok.
Pencegahan varicella, selain dengan meningkatkan daya tahan tubuh, dapat ditempuh dengan pemberian vaksinasi atau imunisasi imunoglobulin (IG) anti varicella. Vaksinasi diberikan untuk mereka yang belum pernah terkana varicella. Imunoglobulin diberikan setelah terjadi paparan (postexposure), terutama pada pasien dengan status imun rendah, bayi baru lahir, dan ibu hamil. Bila sudah terjadi infeksi, prinsip terapi adalah suportif dan pemberian anti viral sesuai indikasi. Anti viral terpilih adalah acyclovir, yang akan bekerja efektif bila diberikan dalam 72 jam pertama sesudah munculnya lesi. Indikasi mutlak pemberian terapi anti viral meliputi status imun rendah, manifestasi klinis berat, serta kehamilan trimester ke-315. Pasien dengan varicella perlu dirawat bila keadaan umum lemah, lesi luas, atau untuk keperluan isolasi.

INFEKSI HIV
Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) adalah infeksi sistemik akibat virus HIV, yang mengakibatkan berbagai gambaran klinis, mulai infeksi primer akut, periode laten, sampai munculnya tahap lanjut yang dikenal dengan aquired immune deficiency syndrome (AIDS). Pada tahap lanjut muncul berbagai kelainan yang memperlihatkan kegagalan sistem imun pasien menghadapi berbagai kuman penyakit.
Pada periode laten infeksi HIV, tidak dilaporkan adanya efek merugikan pada janin. Meski demikian, kemungkinan transmisi vertikal kepada janin tetap ada. Di sisi lain, kehamilan juga tidak terbukti mempercepat perkembangan penyakit infeksi HIV.
Penelitian di luar negeri menunjukkan, wanita tertular HIV melalui hubungan seksual (51% kasus) dan penggunaan narkoba intravena (45% kasus). Infeksi HIV secara umum menyebart melalui paparan darah/produk darah. Transmisi vertikal dari ibu kepada janin terutama terjadi pada saat/menjelang kelahiran. Pada sebagian kecil kasus, penularan terjadi via plasenta/sebelum kelahiran. Laktasi juga dianggap menularkan vitrus HIV. Transmisi HIV belum pernah dilaporkan terjadi melalui hubungan sehari-hari, atau lewat gigitan nyamuk.
Saat berada pada periode laten, pasien dengan infeksi HIV bersifat asimtomatis. Pada tahap lanjut, dapat terjadi limfadenopati persisten generalisata, gejala konstitusional seperti diare kronis, penurunan berat badan, dan demam. Infeksi sekunder mulai terjadi dengan kuman oportunistik, seperti kandidosis atau pneumonia karena protozoa (PCP, pneumocystis carinii pneumonia). Tumor sekunder dapat muncul, demikian pula gejala gangguan saraf. Pada tahap awal, pasien mungkin hanya terdeteksi bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan EIA (enzyme immuno assay), atau deteksi virus langsung dengan RT-PCR (reverse transcriptase-polymerase chain reaction).
Terapi preventif terhadap HIV sudah barang tentu dengan menjauhi hal yang diharamkan, dalam hal ini hubungan seks di luar pernikahan dan penggunaan narkoba, khususnya intravena. Pasien HIV dan keluarga perlu memperoleh konseling, dukungan psikologis, disamping evaluasi dan terapi terhadap komplikasi infeksi yang terjadi. Prinsip terapi infeksi HIV adalah suportif dan pemberian terapi anti viral. Pada ibu hamil dengan HIV (+) pemberian anti viral diindikasikan untuk menurunkan kemungkinan transmisi vertikal kepada janin. Kelahiran umumnya direncanakan dengan SC elektif, sebelum persalinan dimulai atau pecah ketuban.
Sampai saat ini terapi kuratif yang memuaskan untuk infeksi HIV belum ditemukan. Penelitian obat anti HIV yang lebih efektif masih terus berlangsung. Pemberian anti viral saat ini dilakukan untuk memperpanjang harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

KEPUSTAKAAN
  1. Anonim, 1994. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 26, EGC, Jakarta.
  2. Madoff, L.C., Kasper, D.L., Introduction to Infectious Disease : Host-Pathogen Interactions, in D.L. Kasper, E. Braunwald, A.S. Fauci et al., Harrison’s Manual of Medicine, McGraw-Hill, New York.
  3. Prawirohardjo, S., Wiknjosastro, H., Sumapraja, S., 1986. Ilmu Kebidanan, Ed ke-2, Yayasan Bina Pustaka, Jakarta.
  4. Hilsden, R.J., Shaffer, E.A., Liver Diseases in Pregnancy
  5. Phupong, V., 2001. Dengue Fever in Pregnancy : a Case Report. www.biomedcentral.com/1431-2393/1/7-32-K. Accessed at 30/10/07
  6. Wiwanitkit, V., 2006. DHF in Pregnancy : Appraisal on Thai Cases. J Vect Borne Dis., 43, www.mrcindia.org/journal/issues/434203.pdf. Accessed at 30/10/07
  7. Fun, L.W., et al., 2006. MIMS, 10th Ed, CMPMedica, Jakarta
  8. Data primer : status pasien RS. PKU Muhammadiyah Surakarta, 2006.
  9. Dienstag, J.L.; Isselbacher, K.J., 2005. Acute Hepatitis, in D.L. Kasper, E. Braunwald, A.S. Fauci et al., Harrison’s Manual of Medicine, McGraw-Hill, New York.
  10. Friedman, L.S., 2004. Liver, Biliary Tract, and Pancreas, in L.M. Tierney Jr, S.J. McPhee, M.A. Papadakis, CMDT, 43rd Ed, McGraw-Hill, New York.
  11. Dienstag, J.L.; Isselbacher, K.J., 2005. Acute Viral Hepatitis, in D.L. Kasper, E. Braunwald, A.S. Fauci, Harrison’s Principles of Internal Medicine, 16th Ed, Vol II, McGraw-Hill, New York.
  12. Suroso, T., Umar, A.I., 2002. Epidemiologi dan Penaggulangan DBD di Indonesia Saat Ini, in S. R. Hadinegoro, H.I. Satari, DBD, Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih DSA dan DSPD dalam Tatalaksana Kasus DBD, BPFKUI, Jakarta
  13. WHO, 2002. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/print.html Accessed at 26/2/2007
  14. Crombleholme, W.R., 2004. Obstetric, in L.M. Tierney Jr, S.J. McPhee, M.A. Papadakis, CMDT, 43rd Ed, McGraw-Hill, New York.
  15. Shelburne III, S., Shandera, W.X., 2004. Infectious Disease : Viral & Rickettsial, in L.M. Tierney Jr, S.J. McPhee, M.A. Papadakis, CMDT, 43rd Ed, McGraw-Hill, New York.
  16. Fauci A.S., Lane, H.C., HIV Infection and AIDS, in in D.L. Kasper, E. Braunwald, A.S. Fauci et al., Harrison’s Manual of Medicine, McGraw-Hill, New York.
  17. Gomella, L.G., Haist, S.J., Billater, M., 1997. Clinician’s Pocket reference, 8th Ed, Appleton & Lange, Connecticut, p 219-20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar