Selasa, 26 Juni 2012

pengertian dan jenis Model Diversifikasi Pangan Lokal

pengertian dan jenis Model  Diversifikasi  Pangan Lokal  Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat strategis dan penting. Pangan adalah kebutuhan pokok sekaligus menjadi esensi kehidupan manusia, karenanya hak atas pangan menjadi bagian sangat penting dari hak azasi manusia. Disamping itu ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan nasional yang saat ini dinilai paling rapuh. Pembangunan ketahanan pangan di Indonesia telah ditegaskan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan yang dirumuskannya sebagai usaha mewujudkan ketersediaan pangan bagi seluruh rurnah tangga, dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, aman dikonsumsi, merata serta terjangkau oleh setiap individu. Memperhatikan definisi tersebut, saat ini ketahanan pangan belum dicapai pada seluruh rumah tangga walaupun pada tingkat nasional hasilnya telah lebih baik. Masih banyak rumah tangga yang belum mampu mewujudkan ketersediaan pangan yang cukup, terutama dalam hal mutu dan tingkat gizinya. Dalam hal ini keaneka-ragarnan pangan menjadi salah satu pilar utama dalam ketahanan pangan. Diversifikasi pangan memang merupakan salah satu prasyaratan pokok dalam konsumsi pangan yang cukup mutu dan gizinya.

Ketergantungan pangan kepada negara lain dapat merupakan ancaman seriuas bagi stabilitas keamanan nasonal maupun kedaulatan negara. Diliha dari indi kator kemandirian pangan, kemandirian pangan(beras) di indonesia cendrung makin baik, dari -8,9% tahun 1995 menjadi -3,8% tahun 2000, tetapi juga masih di ikuti oleh tingginya angka impor (Krisnamurthi 2006; Arifin, 2007). Hingga ini , impor beras masih sering dilakukan sebgai langkahterakhir mengamanakan kenaikan harga beras  dala negeri Salah satu masalah ketahanan pangan di indonesia adalah angka konsumsi beras yang cendrung semakin tinggi hinga 139 kilogram per kapita per tahun, jauh lebih tinggi di banding konsumsiberas di jepang, thiland, malaysia yakni antara 70 kg dan 80 kg per kapita per tahun. Kecuali itu, tingkat rawan pangan busung lapar ikalangan penduduk usia 0-4 tahun masi tinggi yakni sekitar 8%  (1,67 juta ) pada tahun 2005 (siregar and yulia 2006). Konisi ini diperkirakan makin buruk sehubungan dengan isu perubahan iklim dan pemanasan global yang diperkirakan akan menurungkan produksi pangan, khususnya beras, sehingga mendorong setiap negara membangun  sistem ketahanan pangan masing-masing bahkan mengurangi ekspor pangan kenegara lain. Pemerinta indonesia menyikapi masaalah ketahanan pangan tersebut dengan membuat target mengurangi konsumsi 1,5% pertahun dan mengeluarkan perpres no 22/2009 yang menekankan kepentingannya percepatan pangan lokal.

Propinsi maluku merupakan wilayah kepulauan, terdiri dari 96% lautan, dan memiliki lebih kurang 1340 pulau-pulau kecil yang dihuni sekitar 1,4 juta jiwa. Rawan pangan beras lebih sensitive di wilyah kepulauan karena lebih peka terhadap isu musibah gagal panen dan perubahan iklim global (Affandi ,2001) . selain itu, oleh karene rentang kendali yang jauh dan sarana prasarana transportasi laut dan darat terbatas  maka ditribusi pangan antar pulau cukup sulit dan lambat. Oleh karna itu pemerinta daerah telah membagi wilaya maluku kedalam 12 gugus pulau agar lebih mudah dalam pengendalian dan distri busi pangan lokal. Potensi pangan lokal terbesar di gugus pulau 1,2 dan 3 adalah tanaman sagu dimana produksi satu batang pohon sagu masak, dapat menghidupi seorang indifidu dalam satu tahun (Flach, 1984). Dalalam seminar internasional sago and spici for food securitye di ambon  pada bulan agustus 2010, materi pertanian dan kepala badan ketahanan pangan menyaakan bahwa maluku memiliki potensi tanaman pangan lokal yang kaya dan beragam seperti sagu dan ikan ,jagung ,ubi, pisangdan sukun, sehinga perlu kecepatan pengembangnnya kearah industri pangan sebagai basis ketahanan dan kedaulatan pangan daerah. Hal ini didukung pleh data potensi pangan lokal di maluku  yang cukup besar, yakni lebih dari 31 000 hektar (Haryanto dkk, 1999; fakultas pertanian universitas pattmura,2010), dalam wktu brsamaan, wakil mentri perindustrian dan perdagangan menyatakan dukungan penuh untuk program membangun industri pangan berbasis sumberdaya dan budaya lokal I maluku. Namun dalam perkembangannya terdapat sejumlah masaalah.


Pertama,prcepatan pangan lokal masih kurang medapat dukungan dari infranstruktur pegembangan lahan usaha dan agroin industri pangan lokal (Dolorosa, 2010). Dalam hal ini potensi pangan lokal yang melimpah cendrung terabaikan dan hilang kecuali dilakukan terobosan baru dalam bentik revitalisasi pangan lokal .Kedua, penurunan konsumsi pangan lokal akan berimbas terhadap kenaikan beras.jika 1,4 juta penduduk maluku mengkonsumsi beras maka dibutuhkn sekitar 170000 toon setiap tahunnya, padahal kempuan produksi di daerah transmigrasi maluku hanya 30000 toon, maka harus di impor sekitr 140000 ton pertahun (Girsang,2009). Untuk saat ini, tingkat kecukupan dan keberlanjutan pangan di maluku di perkirakan berada dalam posisi self-sufficiency (bappeda 2005), tetapi dipedesaan seram timur dan maluku barat daya sering menglami rawan pangan beras. Ketiga, ketergantungan terhadap beras sebagai makanan pokok telah medeprivasi ketahanan dan kedaulatan pangan lokal, menciptakan situasi ketrgantungan terhadap beras di desa-desa berbasis pangan non-beras. Ironisanya, subtitusi pangan lokal dari non-beras di maluku akan menyulitkan rumah tangga di perdesaan maluku yang umumnya dudah memiliki kecukupan pangan lokal tetapi miskin ‘uang tunai’ untuk membeli beras (Girsang 2006); Girsang, 2009).
Data Proyeksi Produksi menurut Komoditas pada masing-masing Subsektor Pertanian di kabupaten seram bagian barat  2007-2008

Subsektor
Tahun
Pertumbuhan (%/th)
2007
2008
Tanaman Pangan



Padi
55,03
57,71
1,21
Jagung
11,82
13,97
4,23
Kedelai
0,78
1,00
6,50
Kacang Tanah
0,83
0,85
0,48
Ubi Kayu
19,57
19,90
0,39
Ubi Jalar
1,88
1,91
0,35
Hortikultura



Kentang
1,05
1,21
3,68
Cabai
1,11
1,24
2,94
Bawang Merah
0,82
1,10
7,65
Kubis
1,40
1,61
7,65
Tomat
0,73
0,87
4,64
Wortel
0.38
0.44
4,17
Pisang
4,53
6,07
7,43
Mangga
1,68
2,23
7,35
Jeruk
1,62
1,84
3,37
Durian
0,82
1,15
8,41
Pepaya
0,67
0,85
6,12
Nenas
0,74
0,93
5,83
Alpukat
0,30
0,39
6,83
Perkebunan



Kelapa Sawit
13,15
16,74
6,21
Karet
1,95
2,34
4,79
Kakao
0,64
0,79
4,79
Kopi
0,75
0,89
5,30
Kelapa
3,29
3,39
0,79
Lada
0,10
0,13
6,48
Tembakau
0,23
0,31
7,03
Gula
2,16
2,85
7,09
Peternakan



Daging Sapi
0,39
0,44
3,01
Daging Kerbau
0,046
0,047
0,68
Daging Kuda
1,59
1,60
0,08
Kambing
0,07
0,08
2,00
Daging Domba
0,09
0,10
3,02
Daging Babi
0,19
0,21
2,40
Daging Unggas
1,52
2,01
7,61
Telur
1,14
1,60
8,74
Susu
0,66
0,98
10,25
Akhirnya, revitalisasi pertanian selama ini lebih difokuskan pada aspek physical  capital padi sawa khususnya benih unggul, pupik dan obat-obatan, alat dan mesin pertanian, infrastruktur pendukung seperti irigasi dan jalan desa. Pada hal revitalisasi pertanian sebenarnya merupakan revitalisasii kemanusiaan (Krisnamurthi 2006) yng fokus pembangunannya seharusnya dimulai dari pengembangan human dan social capital (Uhoff, 1986; pretty, 1999), mengurangi ketergantungan dan merevitalisasi model percepatan diversifikasi pangan berasis sumber daya alam dan budaya lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar