Paradigma Sehat untuk Kesehatan dan Keselamatan Kerja oleh para ahli
Oleh Prof. Dr. Tri Martiana, dr., MS
Guru Besar Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Tanggal Pengukuhan : 30-01-2010
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Pidato : Revitalisasi K-3 Melalui Paradigma Sehat (Sebagai Optimalisasi Pencegahan Kecelakaan dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja)
Tanggal Pengukuhan : 30-01-2010
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Pidato : Revitalisasi K-3 Melalui Paradigma Sehat (Sebagai Optimalisasi Pencegahan Kecelakaan dan Penyakit Akibat Hubungan Kerja)
Setiap pekerjaan di dunia ini hampir pasti tak ada yang tak berisiko. Ibarat pepatah bermain air basah, bermain api hangus. Kecelakaan dan sakit akibat kerja sudah menjadi risiko setiap orang yang melakukan pekerjaan, baik itu petani, nelayan, buruh pabrik, pekerja tambang, maupun pegawai kantoran sekalipun.
Sepanjang tahun 2009, pemerintah mencatat telah terjadi sebanyak 54.398
kasus kecelakaan kerja di Indonesia. Meski menunjukkan tren menurun, namun angka tersebut masih tergolong tinggi. Kecelakaan kerja di sebuah pabrik gula di Jawa Tengah menyebabkan empat pekerjanya tewas dan di Tuban Jawa Timur seorang meninggal dan dua orang lainnya terluka akibat tersiram serbuk panas saat bekerja di salah satu pabrik semen adalah beberapa contoh kasus kecelakaan kerja yang mengakibatkan kerugian bahkan sampai menghilangkan nyawa.
Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri, namun juga bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis paradigma sehat.
Hal itu menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat jumlah tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 104,49 juta, bekerja di sektor formal sebesar 30,51 % sedangkan 69,49 % bekerja di sektor informal, dengan distribusi sebesar 41,18% bekerja di bidang pertanian, industri 12,07%; perdagangan sebesar 20,90%; transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 5,69%; konstruksi sebesar 4,42%, jasa dan keuangan 14,44%; serta pertambangan, listrik dan gas 1,3% (Berita Resmi Statistik 2009). Dari data tahun 2007 diketahui kecelakaan kerja terbanyak terjadi pada tenaga kerja konstruksi dan industri masing-masing 31,9 % dan 31,6 %.
Prof. DR. Tri Martiana, dr., MS., Guru Besar Universitas Airlangga bidang Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dikukuhkan Sabtu (30/1) di Gedung Rektorat Unair, mengatakan bahwa paradigma sehat di masyarakat sekarang sudah mulai luntur. Paradigma sehat yang lebih menekankan pada cara pandang preventif (pencegahan) dan promotif dalam melihat masalah kesehatan masih kurang mendapat perhatian di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
Menurut Prof. Tri, saat ini sebagian besar perusahaan lebih memilih mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan perawatan bagi tenaga kerja yang sakit (upaya kuratif) daripada mengupayakan adanya sistem managemen K-3 yang baik dalam perusahaan untuk upaya pencegahan kecelakaan dan kesakitan akibat pekerjaan. Dengan dalih biaya yang dikeluarkan untuk upaya preventif-promotif lebih besar. Padahal, apabila tenaga kerja jatuh sakit, justru akan lebih banyak kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan.
Selain kerugian dana untuk biaya perawatan dan pengobatan, perusahaan juga akan kehilangan produktifitas kerjanya. Dan bagi pemerintah hal ini menjadi beban, karena semakin banyak tenaga kerja yang sakit atau cacat akibat kerja akan mengurangi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pembangunan untuk kemajuan bangsa.
Faktor dasar penyebab adanya kecelakaan kerja adalah buruknya managemen K-3, tidak adanya komitmen perusahaan untuk menerapkan SMK3 serta faktor lingkungan kerja. Ketiga hal tersebut menimbulkan unsafe action (tindakan yang tidak aman) dan unsafe condition (kondisi yang tidak aman) yang merupakan faktor tidak langsung penyebab kecelakaan kerja. Sedangkan faktor penyebab langsung timbulnya kecelakaan kerja adalah tidak adanya upaya pengendalian risiko dan adanya potensial bahaya di tempat kerja. 80% kecelakaan diakibatkan oleh unsafe action, seperti perilaku tidak memakai helm para pekerja konstruksi serta kebiasaan tidak memakai masker dan sarung tangan selama bekerja oleh pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia. Untuk mencegah timbulnya unsafe action adalah dengan upaya preventif-promotif, yakni membekali tenaga kerja tentang pengetahuan K-3 dan didukung dengan adanya budaya K-3 di tempat kerja.
Paradigma sehat sebagai optimalisasi dalam pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat hubungan kerja dilakukan dengan menunjuk pendampingan ahli K-3 bagi semua industri. Masalah yang masih dihadapi saat ini adalah kurangnya sumber daya manusia yakni tenaga ahli K-3 sebagai pembina pelaksanaan SMK3 di perusahaan, diakibatkan masih rendahnya angka lulusan perguruan tinggi atau akademi bidang K-3.
“Diperlukan peningkatan kerja sama semua sektor dan organisasi profesi untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam bentuk upaya terobosan di bidang K-3,” jelas wanita kelahiran Surabaya ini.
Terobosan itu misalnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait masalah Nilai Ambang Batas (NAB) yang digunakan untuk menentukan potensi bahaya sebuah paparan bahan fisik, biologi maupun kimia di tempat kerja. Selama ini NAB masih mengadopsi dari standar National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yang sebetulnya kurang sesuai jika diterapkan di Indonesia, karena memang iklim dan kondisinya berbeda dengan Amerika.
“Perlu adanya dorongan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait hal ini dan kemudian dapat direkomendasikan kepada pemerintah” tambahnya. Kerja sama dari berbagai sektor yang dimaksud, misalnya antara dinas pertanian, perikanan dan dinas kesehatan. Ke tiga dinas itu dapat membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai landasan untuk upaya memberikan perlindungan K-3 bagi tenaga kerja sektor informal, seperti petani dan nelayan yang masih kurang mendapat perhatian.
Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh tenaga kerja itu sendiri, namun juga bisa berdampak pada masyarakat sekitar. Oleh karena itu perlu adanya penerapan sebuah sistem manajemen keselamatan dan kesehatan Kerja (SMK3) di tempat kerja berbasis paradigma sehat.
Hal itu menjadi kebutuhan yang mendesak mengingat jumlah tenaga kerja di Indonesia pada tahun 2009 sebesar 104,49 juta, bekerja di sektor formal sebesar 30,51 % sedangkan 69,49 % bekerja di sektor informal, dengan distribusi sebesar 41,18% bekerja di bidang pertanian, industri 12,07%; perdagangan sebesar 20,90%; transportasi, pergudangan dan komunikasi sebesar 5,69%; konstruksi sebesar 4,42%, jasa dan keuangan 14,44%; serta pertambangan, listrik dan gas 1,3% (Berita Resmi Statistik 2009). Dari data tahun 2007 diketahui kecelakaan kerja terbanyak terjadi pada tenaga kerja konstruksi dan industri masing-masing 31,9 % dan 31,6 %.
Prof. DR. Tri Martiana, dr., MS., Guru Besar Universitas Airlangga bidang Ilmu Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang dikukuhkan Sabtu (30/1) di Gedung Rektorat Unair, mengatakan bahwa paradigma sehat di masyarakat sekarang sudah mulai luntur. Paradigma sehat yang lebih menekankan pada cara pandang preventif (pencegahan) dan promotif dalam melihat masalah kesehatan masih kurang mendapat perhatian di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.
Menurut Prof. Tri, saat ini sebagian besar perusahaan lebih memilih mengeluarkan biaya untuk pengobatan dan perawatan bagi tenaga kerja yang sakit (upaya kuratif) daripada mengupayakan adanya sistem managemen K-3 yang baik dalam perusahaan untuk upaya pencegahan kecelakaan dan kesakitan akibat pekerjaan. Dengan dalih biaya yang dikeluarkan untuk upaya preventif-promotif lebih besar. Padahal, apabila tenaga kerja jatuh sakit, justru akan lebih banyak kerugian yang akan ditanggung oleh perusahaan.
Selain kerugian dana untuk biaya perawatan dan pengobatan, perusahaan juga akan kehilangan produktifitas kerjanya. Dan bagi pemerintah hal ini menjadi beban, karena semakin banyak tenaga kerja yang sakit atau cacat akibat kerja akan mengurangi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pembangunan untuk kemajuan bangsa.
Faktor dasar penyebab adanya kecelakaan kerja adalah buruknya managemen K-3, tidak adanya komitmen perusahaan untuk menerapkan SMK3 serta faktor lingkungan kerja. Ketiga hal tersebut menimbulkan unsafe action (tindakan yang tidak aman) dan unsafe condition (kondisi yang tidak aman) yang merupakan faktor tidak langsung penyebab kecelakaan kerja. Sedangkan faktor penyebab langsung timbulnya kecelakaan kerja adalah tidak adanya upaya pengendalian risiko dan adanya potensial bahaya di tempat kerja. 80% kecelakaan diakibatkan oleh unsafe action, seperti perilaku tidak memakai helm para pekerja konstruksi serta kebiasaan tidak memakai masker dan sarung tangan selama bekerja oleh pekerja yang berhubungan dengan bahan kimia. Untuk mencegah timbulnya unsafe action adalah dengan upaya preventif-promotif, yakni membekali tenaga kerja tentang pengetahuan K-3 dan didukung dengan adanya budaya K-3 di tempat kerja.
Paradigma sehat sebagai optimalisasi dalam pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat hubungan kerja dilakukan dengan menunjuk pendampingan ahli K-3 bagi semua industri. Masalah yang masih dihadapi saat ini adalah kurangnya sumber daya manusia yakni tenaga ahli K-3 sebagai pembina pelaksanaan SMK3 di perusahaan, diakibatkan masih rendahnya angka lulusan perguruan tinggi atau akademi bidang K-3.
“Diperlukan peningkatan kerja sama semua sektor dan organisasi profesi untuk memberi masukan kepada pemerintah dalam bentuk upaya terobosan di bidang K-3,” jelas wanita kelahiran Surabaya ini.
Terobosan itu misalnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait masalah Nilai Ambang Batas (NAB) yang digunakan untuk menentukan potensi bahaya sebuah paparan bahan fisik, biologi maupun kimia di tempat kerja. Selama ini NAB masih mengadopsi dari standar National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yang sebetulnya kurang sesuai jika diterapkan di Indonesia, karena memang iklim dan kondisinya berbeda dengan Amerika.
“Perlu adanya dorongan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait hal ini dan kemudian dapat direkomendasikan kepada pemerintah” tambahnya. Kerja sama dari berbagai sektor yang dimaksud, misalnya antara dinas pertanian, perikanan dan dinas kesehatan. Ke tiga dinas itu dapat membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) sebagai landasan untuk upaya memberikan perlindungan K-3 bagi tenaga kerja sektor informal, seperti petani dan nelayan yang masih kurang mendapat perhatian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar