makalah Persaingan Pemasaran Cengkeh
Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn. Eugenia aromaticum), dalam bahasa Inggris disebut cloves, adalah tangkai bunga kering beraroma dari keluarga pohon Myrtaceae. Cengkeh adalah tanaman asli Indonesia, banyak digunakan sebagai bumbu masakan pedas di negara-negara Eropa, dan sebagai bahan utama rokok kretek khas Indonesia. Cengkeh ditanam terutama di Indonesia (Kepulauan Banda) dan Madagaskar; selain itu juga dibudidayakan di Zanzibar, India, dan Sri Lanka
Pohon cengkeh merupakan tanaman tahunan yang dapat tumbuh dengan tinggi 10-20 m, mempunyai daun berbentuk lonjong yang berbunga pada pucuk-pucuknya. Tangkai buah pada awalnya berwarna hijau, dan berwarna merah jika bunga sudah mekar. Cengkeh akan dipanen jika sudah mencapai panjang 1,5-2 cm Cengkeh dapat digunakan sebagai bumbu, baik dalam bentuknya yang utuh atau sebagai bubuk. Bumbu ini digunakan di Eropa dan Asia. Terutama di Indonesia, cengkeh digunakan sebagai bahan rokok kretek. Cengkeh juga digunakan sebagai bahan dupa di Republik Rakyat Cina dan Jepang. Minyak cengkeh digunakan di aromaterapi dan juga untuk mengobati sakit gigi.
Minyak esensial dari cengkeh mempunyai fungsi anestetik dan antimikrobial. Minyak cengkeh sering digunakan untuk menghilangkan bau nafas dan untuk menghilangkan sakit gigi. Zat yang terkandung dalam cengkeh yang bernama eugenol, digunakan dokter gigi untuk menenangkan saraf gigi. Minyak cengkeh juga digunakan dalam campuran tradisional chōjiyu (1% minyak cengkeh dalam minyak mineral; “chōji” berarti cengkeh; “yu” berarti minyak) dan digunakan oleh orang Jepang untuk merawat permukaan pedang mereka.
Pada abad yang keempat, pemimpin Dinasti Han dari Tiongkok memerintahkan setiap orang yang mendekatinya untuk sebelumnya menguyah cengkeh, agar harumlah napasnya. Cengkeh, pala dan merica sangatlah mahal di zaman Romawi. Cengkeh menjadi bahan tukar menukar oleh bangsa Arab di abad pertengahan. Pada akhir abad ke-15, orang Portugis mengambil alih jalan tukar menukar di Laut India. Bersama itu diambil alih juga perdagangan cengkeh dengan perjanjian Tordesillas dengan Spanyol, selain itu juga dengan perjanjian dengan sultanTernate. Orang Portugis membawa banyak cengkeh yang mereka peroleh dari kepulauan Maluku ke Eropa. Pada saat itu harga 1 kg cengkeh sama dengan harga 7 gram emas.
Perdagangan cengkeh akhirnya didominasi oleh orang Belanda pada abad ke-17. Dengan susah payah orang Prancis berhasil membudayakan pohon Cengkeh di Mauritius pada tahun 1770. Akhirnya cengkeh dibudayakan di Guyana, Brasilia dan Zanzibar.
Pada abad ke-17 dan ke-18 di Inggris harga cengkeh sama dengan harga emas karena tingginya biaya impor. Sebab cengkeh disana dijadikan salah satu bahan makanan yang sangat berkhasiat bagi warga dan sekitarnya yang mengkonsumsi tanaman cengkeh tersebut. Sampai sekarang cengkeh menjadi salah satu bahan yang diekspor ke luar negeri.
Pohon cengkeh yang dianggap tertua yang masih hidup terdapat di Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, sekitar 6 km dari pusat kota Ternate. Poho yang disebut sebagai Cengkeh Afo ini berumur 416 tahun, tinggi 36,60 m, berdiameter 198 m, dan keliling batang 4,26 m. Setiap tahunnya ia mampu menghasilkan sekitar 400 kg bunga cengkeh.
Tanaman cengkeh (Syzigium aromaticum) dikenal sebagai tanaman rempah yang digunakan sebagai obat tradisional. Cengkeh termasuk salah satu penghasil minyak atsiri yang biasa diguakan sebagai bahan baku industri farmasi maupun industri makanan, sedangkan penggunaan yang terbanyak sebagai bahan baku rokok. Produksi Cengkeh mempunyal peranan yang cukup besar dalam menunjang upaya peningkatcin pendapatan Negara karena sampai saat ini Cukai rokok merupakan salah satu sumber pendapotcin Negara yang terbesar dibanding dengon sumber-sumber pendapaton lainnya untuk Tahun Anggaran 2001, yaitu sekitar Rp. 17,6 Trilyun atau 7,5 % bahkan target untuk Tahun Anggaran 2002, yaitu sekitar Rp. 22,3 Triliun dart Tahun 2003 sebesor 27 triliun dan penerimaan Negara don penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi
A. Persaingan dan Pemasaran Cengkeh
Tingkat persaingan minyak daun cengkeh Indonesia di pasar internasional terutama ditentukan oleh kualitas minyak daun cengkeh yang dihasilkan Indonesia dan negara-negara pesaing, seperti Madagaskar, Tanzania dan Srilanka. Negara penghasil minyak atsiri bukan hanya berasal dari negara-negara berkembang saja, seperti Cina, Brasil, Indonesia, India, Argentina dan Meksiko melainkan juga negara maju, seperti Amerika Serikat, Perancis, Jerman, Italia, dan Inggris. Perbedaannya, negara-negara berkembang lebih banyak memproduksi minyak atsiri menjadi bahan setengah jadi dan kemudian mengekspornya ke negara maju. Lain halnya yang dilakukan oleh negara maju. Meskipun mereka mengimpor bahan setengah jadi dari negara berkembang untuk diolah menjadi barang jadi, mereka mengekspornya sebagian kembali ke negara-negara lain termasuk negara berkembang dalam bentuk barang jadi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun demikian, peluang pasar minyak daun cengkeh masih terbuka luas terutama di pasar dunia yang volume permintaannya terus meningkat.
Pemasaran minyak daun cengkeh dapat melalui para pedagang pengumpul maupun langsung ke pihak produsen barang jadi yang membutuhkan. Namun pada umumnya jalur penjualan ke pedagang pengumpul relatif lebih mudah. Harga yang ada di pasar perdagangan minyak daun cengkeh dalam negeri juga relatif stabil.
1. Harga
Harga minyak daun cengkeh relatif stabil pada tahun 2002 dan 2003. Pada awal tahun 2002 harga minyak daun cengkeh mencapai Rp 29.500,- dan pada tahun 2003 berfluktuasi antara Rp 23.000,- sampai Rp 25.000,- per kilogram. Harga tersebut juga cenderung stabil hingga memasuki tahun 2004. Fluktuasi harga minyak daun cengkeh sedikit banyak juga dipengaruhi oleh fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Pada saat krisis tahun 1997, harga minyak daun cengkeh bisa mencapai Rp 57.000,- per kilogram (data primer). Berdasarkan data primer lapangan yang diperoleh, para pengusaha minyak daun cengkeh memperkirakan harga untuk kondisi breakeven point (BEP) atau impas adalah sekitar Rp 20.000,- per kilogram. Dengan melihat selisih harga pada kondisi BEP dengan harga jual di pasar, maka usaha ini cukup menjanjikan.
2. Jalur Pemasaran
Secara umum, jalur pemasaran minyak daun cengkeh tidak berbeda dengan komoditi pertanian lainnya. Di pemasaran dalam negeri, produsen menjual produk ke pedagang pengumpul atau agen eksportir. Barulah kemudian produk tersebut sampai ke tangan eksportir. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar perdagangan minyak daun cengkeh adalah untuk ekspor.
Pada praktiknya, keadaan pasar sering dipengaruhi oleh orang yang pertama kali melakukan proses transaksi. Ada beberapa situasi pemasaran yang terjadi. Pertama, pihak produsen langsung menjual produk ke tengkulak, pedagang perantara, atau agen eksportir. Dalam hal ini, produsen memiliki posisi tawar yang lemah. Harga lebih banyak dipengaruhi oleh pembeli. Situasi kedua, pihak pembeli yang mencari produsen. Pada situasi ini, produsen dapat memperoleh harga yang relatif lebih baik. Hal ini seringkali terjadi, terbukti dengan adanya pemesanan dengan uang muka terlebih dahulu oleh pembeli kepada produsen sementara minyak daun cengkeh masih pada proses produksi.
Jalur pemasaran minyak daun cengkeh dari pengusaha pengolahan sebagian besar ditampung terlebih dahulu oleh para pengumpul. Dari survai di wilayah Kulon Progo, setidaknya ada tiga perusahaan pengumpul yang cukup besar, yaitu PT Djasula Wangi di Solo, CV Indaroma di Yogyakarta, dan PT Prodexco di Semarang.
Untuk jalur pemasaran luar negeri ada beberapa pihak yang mungkin terlibat, yaitu pemakai (end-user), broker murni, broker merangkap trader, dan pedagang (trader). Jalur perdagangan minyak daun cengkeh dapat digambarkan sebagaimana terdapat pada Gambar 1. Pemasaran tersebut juga dapat menjadi lebih pendek. Produsen menjual minyak daun cengkeh pada pedagang kecil dan pedagang besar dan kedua jenis pedagang tersebut langsung menjualnya pada eksportir
3. Kendala Pemasaran
Kendala pemasaran yang utama pada minyak daun cengkeh ini adalah mata rantai perdagangan yang cukup panjang. Para pengusaha pengolahan minyak daun cengkeh masih mengalami kesulitan untuk memasok langsung ke eksportir atau end-user. Akibat panjangnya rantai perdagangan ini adalah ketidakseragaman mutu yang ditetapkan. Faktor yang harus diperhatikan dalam upaya pemasaran minyak daun cengkeh, terutama untuk tujuan ekspor adalah dengan memperhatikan kualitas, harga yang kompetitif dan keberlangsungan produksi. Secara umum, kendala pemasaran minyak daun cengkeh disebabkan oleh tiga hal, yaitu:
1) mutu yang rendah karena sifat usaha penyulingan minyak daun cengkeh yang umumnya berbentuk usaha kecil dengan berbagai keterbatasan modal dan teknologi
2) pemasaran dalam negeri masih bersifat buyer market (harga ditentukan pembeli) karena lemahnya posisi tawar pengusaha pengolah, dan
3) harga yang berfluktuasi (dalam dan luar negeri) akibat tidak terkendalinya produksi dalam negeri dan persaingan negara sesama produsen.
Tahun lalu (2001), harga cengkeh (bunga cengkeh kering) mencapai Rp 80.000,- per kg. Ini sebuah prestasi yang luarbiasa. Sebab ketika BPPC masih menangani pemasaran cengkeh, komoditas ini hanya dihargai Rp 7.000,- per kg. Kenyataannya, para petani hanya akan menerima harga Rp 4.000,- per kg. Itu pun banyak yang ditipu dan tidak dibayar. Karenanya, harga Rp 80.000,- per kg. sangat menarik perhatian kalangan petani. Mereka yang dulu membiarkan tanaman cengkehnya merana, sekarang buru-buru merawatnya dengan sebaik mungkin. Dan tiba-tiba “demam” bertanam cengkeh yang pernah terjadi pada akhir tahun 1960an dan awal tahun 1970an seperti bangkit kembali. Namun tahun ini harga cengkeh kembali melorot ke tingkat Rp 30.000,- per kg. bahkan lebih rendah lagi. Padahal tahun ini rata-rata pohon cengkeh tidak berbunga setelah tahun lalu menghasilkan panen melimpah. Petani kembali kecewa. Mereka tetap mengharapkan harga cengkeh bertengger di atas Rp 50.000,- per kg. Kalau perlu mereka mengharapkan harga itu tetap Rp 80.000,- Padahal, sesuai dengan biaya produksi, maka idealnya harga cengkeh cukup berkisar antara Rp 20.000,- sampai dengan Rp 40.000,- per kg, atau rata-rata Rp 30.000,- Harga Rp 80.000,- per kg. sebenarnya sangat tidak rasional.
Sebagai rempah-rempah, cengkeh pernah menduduki peringkat pertama dibandingkan dengan produk rempah lainnya. Sebelum lemari es dan freezer diketemukan oleh A.H. Goss dari AS pada tahun 1913, maka pengewetan daging dilakukan dengan eugenol dari bunga cengkeh. Karenanya, ketergantungan benua Amerika pada cengkeh menjadi tinggi sekali. Sebab di benua ini daging sapi, domba dan babi merupakan menu utama. Pada musim dingin, ternak yang jantan harus segera dipotong supaya tidak menghabiskan persediaan jerami. Untuk mengawetkannya, daging tersebut dilumuri dengan serbuk bunga cengkeh kering. Itulah yang dilakukan oleh masyarakat Eropa selama berabad-abad. Dan cengkeh yang berasal dari kepulauan Maluku serta Manado itu diperdagangkan secara estafet. Mula-mula dibawa ke Jawa, lalu ke Sumatera dan Semenanjung Malaya. Selanjutnya ada dua jalur perdagangan. Pertama melalui laut ke India dan jazirah Arab, Balkan lalu ke Eropa. Kedua ke Cina lalu melalui jalur perdagangan sutera langsung ke Timur Tengah dan Balkan.
Ketika abad-abad XIV dan XV kekaisaran Otoman berkuasa, jalur perdagangan cengkeh terganggu. Harga komoditas ini melambung hingga lebih tinggi dibanding emas. Waktu itu masyarakat Eropa hanya tahu bahwa cengkeh berasal dari “kepulauan rempah-rempah” di tanah India. Mulailah dicari upaya untuk “menemukan” jalan ke kepulauan rempah-rempah tersebut. Ada yang berlayar ke arah selatan menyusuri pantai Afrika, ada yang ke utara hingga kapalnya pecah dan ada pula yang ke arah barat. Sebab ketika itu sudah muncul kesadaran bahwa bumi ini berbentuk bulat dan bukannya datar. Hingga kalau kita berlayar ke arah barat, akhirnya juga akan sampai ke pulau rempah-rempah di tanah India. Salah satu pelaut yang berupaya menemukan jalur ke kepulauan India itu adalah Christophorus Columbus. Tahun 1492 ia berlayar ke arah barat dan mendarat di kepulauan Bahama di laut Karibia. Karena mengira telah sampai ke tanah India maka masyarakat setempat pun disebutnya Indian, sampai sekarang. Sementara jalur pelayaran ke kepulauan Maluku pada akhirnya diketemukan melalui tanjung Harapan di ujung benua Afrika. Sejak itulah bangsa kulit putih (Inggris, Belanda dan Portugis) berdatangan untuk mencari rempah-rempah, khususnya cengkeh.
Cengkeh (Syzygium aromaticum) adalah tanaman asli kepulauan Maluku. Komoditas inilah bersama-sama dengan lada dan pala yang telah membuat bangsa Belanda menguasai negeri ini. Karena merupakan komoditas “maha penting” Belanda sangat menjaga ketat kebun cengkeh mereka, agar tidak ada benih yang lolos keluar. Namun akhirnya Inggris berhasil mencuri beberapa biji cengkeh dan mengembangkannya di Madagaskar serta Zansibar. Kondisi agroklimat Zansibar telah membuat cengkeh Maluku itu mengalami mutasi hingga menciptakan varietas baru: cengkeh zansibar. Daun cengkeh zansibar lebih lebar dan tebal serta menggelombang. Sementara cengkeh asli Maluku berdaun tipis, lebih sempit serta meruncing. Warna pucuk daun cengkeh zansibar cokelat kemerah-merahan. Pucuk cengkeh maluku hijau kekuningan. Bunga cengkeh zansibar lebih besar dan gemuk serta berwarna cokelat kemerahan. Cengkeh maluku lebih ramping dan kecil, warnanya hijau kekuningan. Produktifitas cengkeh zansibar juga lebih tinggi dibanding cengkeh asli dari Maluku. Itulah sebabnya ketika terjadi demam bertanam cengkeh pada tahun 1960 dan 1970an pilihan petani jatuh ke cengkeh zansibar. Bukan cengkel asli dari Maluku.
Namun kelemahan cengkeh zansibar adalah rentan terhadap penyakit Pytoptora serta cacar daun. Dua penyakit ini hampir tidak pernah menyerang cengkeh maluku. Habitat asli tanaman cengkeh adalah pulau vulkanis dengan angin laut yang leluasa bertiup. Cengkeh tumbuh baik pada ketinggian mulai dari 0 m. sampai dengan 800 m. dpl. Lebih dari 800 m, cengkeh memang akan tumbuh lebih subur, namun tidak mau berbuah. Pengembangbiakan cengkeh dilakukan melalui biji. Bunga cengkeh yang tidak dipetik, akan berkembang menjadi “buah cengkeh” Ukuran buah cengkeh ini sebesar ujung kelingking tangan orang dewasa. Pemetikan bunga dilakukan pada saat menjelang mekar. Kalau terlalu awal dipetik, ukuran bunga masih terlalu kecil. Sebaliknya apabila terlalu lambat dipetik, bunga akan terlanjut mekar hingga kandungan eugenolnya akan berkurang atau hilang. Bunga yang telah dipetik berikut tangkainya itu harus segera dirontokkan (dipisahkan dari tangkainya) lalu dijemur sampai kering. Tangkai bunga cengkeh ini masih memiliki nilai ekonomis. Meskipun harganya jauh lebih murah dibanding dengan bunganya.
Daun cengkeh yang rontok pun sebenarnya masih memiliki nilai ekonomis. Di hampir semua kawasan penghasil cengkeh, selalu ada ketel penyulingan minyak daun cengkeh. Daun-daun yang rontok itu biasanya dikumpulkan oleh anak-anak sekolah lalu disetorkan ke pengusaha penyulingan. Kadar minyak daun cengkeh kering ini berkisar antara 2 sampai dengan 3 % (tiap 100 kg. daun cengkeh kering diperoleh minyak antara 2 sampai 3 kg. Harga minyaknya antara Rp 40.000,- sampai dengan Rp 50.000,- per kg. Setelah kulkas diketemukan, bukan berarti cengkeh menjadi komoditas tak berguna. Budaya mengisap tembakau (rokok) di Indonesia, telah berkembang dari “hanya tembakau virginia” (rokok putih) menjadi tembakau dengan rajangan daun cengkeh. Perkembangan inilah yang telah membuat Indonesia dari negara pengekspor cengkeh sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu dulu sampai dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, akhirnya menjadi pengimpor cengkeh terbesar di dunia. Selain untuk rokok, pemanfaatan eugenol dalam minyak asiri bunga, gagang dan daun cengkeh juga berkembang mulai dari industri makanan, farmasi, kosmetik sampai ke parfum. Pengurangan dan penambahan atom karbon (C) dalam eugenol, bahkan telah menghasilkan bahan penting yang sangat diperlukan dalam pembuatan bom serta bahan bakar pesawat ulang-alik.
Selama ini Indonesia masih merupakan penghasil cengkeh terbesar di dunia. Termasuk pemasok minyak daun dan gagang cengkeh. Namun pemasok minyak bunga cengkeh serta oleoresinnya adalah India. Meskipun negeri ini bukan merupakan penghasil cengkeh yang penting di dunia. Tahun 1960 dan 1970an, harga cengkeh juga melambung tinggi, karena industri keretek yang tumbuh pesat. Pertumbuhan industri rokok keretek ini sejalan dengan membaiknya kondisi ekonomi nasional serta pertumbuhan jumlah penduduk. Masyarakat lalu tergiur untuk menanam cengkeh secara besar-besaran. Kebetulan pula antara tahun 1968 sampai dengan 1978 (selama 10 tahun), Menteri Pertanian kita Prof. Dr. Thoyib Hadiwijaya adalah seorang ahli cengkeh. Jadi makin kuatlah demam bertanam cengkeh nasional pada waktu itu. Hingga sawah-sawah berpengairan teknis pun, banyak yang disulap menjadi tempat penyemaian cengkeh. Tetapi tanaman ini baru akan berbuah optimal setelah melampaui usia 10 tahun. Karena kebutuhan cengkeh sudah semakin mendesak, maka pemerintah pun mengeluarkan ijin untuk melakukan impor cengkeh. Kondisi inilah yang menyebabkan harga cengkeh jatuh pada tahun-tahun 1980 dan 1990an.
“Untungnya” pada tahun 1970dan 1980an, areal cengkeh varietas zansibar di Indonesia banyak yang mati karena terserang penyakit pytoptora dan cacar daun. Seandainya tidak, maka panen cengkeh nasional akan sangat melimpah hingga terjadi hiper produksi. Padahal, dalam kondisi hanya over produksi pun, harga cengkeh telah jatuh dari belasan ribu rupiah pada akhir tahun 1970an, tinggal Rp 2.000,- per kg. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dalam praktek justru menjalankan sistem monopoli. Tahun 1990an adalah puncak kejengkelan petani cengkeh terhadap BPPC. Banyak petani yang menelantarkan kebun cengkehnya. Ada pula yang menuruti anjuran pemerintah untuk menebang tanaman cengkehnya. Setelah pemerintah Orde Baru tumbang dan BPPC dibubarkan, harga cengkeh kembali merayap naik. Puncaknya terjadi tahun 2001. Harga cengkeh kering mencapai Rp 80.000,- per kg. Padahal ketika itu hampir di semua tempat di Indonesia pohon cengkeh berbunga dengan sangat lebatnya.
Naiknya harga cengkeh dengan sangat fantastis disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pabrik cengkeh memang tidak punya stok karena pada jaman BPPC mereka membatasi pembelian cengkeh. Ketika BPPC dibubarkan, nilai kurs rupiah terhadap $ US juga naik dari hanya Rp 2.400,- menjadi pernah mencapai Rp 15.000,- per 1 $ US. Tahun ini pabrik rokok membatasi diri membeli cengkeh. Sebab mereka terkena kenaikan cukai rokok dan sedang berkonsentrasi untuk memborong tembakau. Pabrik rokok besar memang selalu menyimpan cengkeh serta tembakau untuk stok minimal selama tiga tahun. Sebab bahan baku tersebut akan menjadi stabil setelah mengalami masa penyimpanan minimal selama tiga tahun. Selain faktor tersebut, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa areal tanaman cengkeh kita telah menyusut dengan sangat drastis. Baik karena rusak terkena hama/penyakit maupun sengaja ditebang oleh petani sendiri. Kalau sekarang-sekarang ini demam bertanam cengkeh tumbuh lagi, maka 10 sampai 20 tahun mendatang harga cengkeh akan kembali ambruk.
A. Kesimpulan
Dari pemhasan diatas maka dapat diuraikan beberapa kesimpulan adalah :
1) Negara-negara berkembang lebih banyak memproduksi minyak atsiri menjadi bahan setengah jadi dan kemudian mengekspornya ke negara maju. Lain halnya yang dilakukan oleh negara maju. Meskipun mereka mengimpor bahan setengah jadi dari negara berkembang untuk diolah menjadi barang jadi, mereka mengekspornya sebagian kembali ke negara-negara lain termasuk negara berkembang dalam bentuk barang jadi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Namun demikian, peluang pasar minyak daun cengkeh masih terbuka luas terutama di pasar dunia yang volume permintaannya terus meningkat.
2) Ketika abad-abad XIV dan XV kekaisaran Otoman berkuasa, jalur perdagangan cengkeh terganggu. Harga komoditas ini melambung hingga lebih tinggi dibanding emas. Waktu itu masyarakat Eropa hanya tahu bahwa cengkeh berasal dari “kepulauan rempah-rempah” di tanah India Mulailah dicari upaya untuk “menemukan” jalan ke kepulauan rempah-rempah tersebut. Ada yang berlayar ke arah selatan menyusuri pantai Afrika, ada yang ke utara hingga kapalnya pecah dan ada pula yang ke arah barat. Sebab ketika itu sudah muncul kesadaran bahwa bumi ini berbentuk bulat dan bukannya datar
SUMBER
Alamat Web
Diakses pada tanggal 29, November 2011
Ø http://matanews.com/2010/02/01/cengkeh-apci-cari-pasar-baru/
Ø http://www.edu-doc.com/index.php?q=bisnis+cengkeh
Ø http://agromaret.com/tag/harga_cengkeh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar