makalah Perencanaan Pembangunan Di Indonesia
A. Latar Belakang
Kecenderungan untuk hidup bersatu adalah kodrat naluri manusia. Oleh karena itu, terbentuknya institusi global semacam WTO (World Trade Organization), APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) sebagai forum kerjasama ekonomi antar bangsa-bangsa se-kawasan, dan juga EEC (European Economic Council), hingga mata uang pun mereka satukan boleh jadi merupakan beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam satu kepentingan yang serupa.
Dalam keadaan semacam itu, norma yang mengatur ragam aktivitas tersebut tentu tidak diserahkan kepada aturan normatif suatu negara tertentu. Hal itu disebabkan hukum nasional suatu negara berdaulat, batas berlakunya hanya di dalam teritorial negara tersebut. Untuk itu, pengaturan tentang berbagai kepentingan bersama antar negara berdaulat, tentu akan diupayakan
dalam bentuk kesepakatan bersama antar negara-negara yang lazimnya dituangkan dalam bentuk “perjanjian internasional.2 Instrumen itulah yang paling mungkin untuk digunakan dalam menangani berbagai persoalan transnasional yang dihadapi bersama.
A. Kerjasama Hukum antar Negara
Demikian pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai persoalan bangsa-bangsa, sehingga perjanjian internasional tidak hanya terjadi dalam bidang hukum publik internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI). Upaya yang dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan beberapa konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, antara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.
Oleh sebab itu, tidak cukup apabila proses pembentukan pranata hukum semata-mata menggunakan model kodifikasi sebagaimana berlangsung di Indonesia selama ini. Model semacam itu dikhawatirkan akan mempersulit Indonesia sendiri dalam mengakomodasi berbagai perubahan yang berlangsung sangat cepat akibat interaksi masyarakat bangsa-bangsa yang semakin hari semakin kompleks. Hukum nasional negara-negara harus terus menerus diupayakan agar senantiasa mampu menjawab berbagai persoalan transnasional. Upaya aktualisasi kaidah hukum nasional itu harus secara simultan dilakukan, baik melalui proses kodifikasi, maupun dengan jalan melakukan nasionalisasi terhadap norma-norma transnasional dalam bentuk pengesahan atau ratifikasi (ratification) terhadap sejumlah perjanjian internasional.
Pengadilan negeri sedapat mungkin dihindari, karena dianggap oleh mereka prosesnya terlalu panjang, sehingga sulit sekali memperoleh kepastian dan keadilan. Kenyataan tersebut telah menghadirkan model “Alternative Dispute Resolution (ADR)”. Menyusul kebutuhan akan hal tersebut, Pemerintah Indonesia kemudian menerbitkan Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Nomor 30 Tahun 1999. Langkah itu tentu saja dimaksudkan sebagai salah satu upaya menjawab tuntutan dinamika masyarakat yang semakin kompleks.
Atas dasar kenyataan semacam itu, maka membuat kesepakatan internasional untuk memperkaya kaidah hukum acara perdata pengadilan negeri, sudah saatnya untuk dipertimbangkan. Persoalannya, menghadapi berlakunya AFTA mendatang saja, setidaknya di kawasan ASEAN harus terjadi harmonisasi antar sistem hukum antar masing-masing negara-negara. Jika tidak, kesulitan demi kesulitan akan dihadapi setiap negara, tatkala tuntutan hak berupa eksekusi putusan yang dijatuhkan di suatu negara tidak dapat dilaksanakan di negara berdaulat lainnya. Keadaan ini tentu saja kurang meguntungkan dari sisi kerjasama ekonomi. Oleh karena itu model konvensi yang pernah diupayakan untuk negara-negara di kawasan Eropa, sewajarnya bila dipertimbangkan untuk dijadikan model dalam
penyusunannya, paling tidak dalam rangka harmonisasi hukum antar negaranegara
di kawasan ASEAN menjelang AFTA berlaku. Meskipun dibuat dan berlaku di kawasan lain, akan tetapi contoh konvensi berikut ini dapat dijadikan sebagai model, di antaranya:
· Convention relating to Civil Procedure, 1954. (Konvensi tentang hokum acara perdata pada badan peradilan, tahun 1954).
· Convention on the Service Abroad of Judicial and Extrajudicial Documents in Civil or Commercial Matters, 1965. (Konvensi tentang penyampaian dokumen resmi badan peradilan kepada para pihak yang berada di luar negeri di dalam perkara perdata dan dagang, tahun 1965).
Berdasarkan tujuan pembentukannya, konvensi-konvensi di atas, selain untuk menyeragamkan kaidah-kaidah hukum perdata internasional diantara negara-negara peserta, juga dalam rangka melancarkan hubungan lalu lintas internasional khususnya di dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum perdata dan hukum perniagaan. Hal itu dipandang penting mengingat dalam masyarakat internasional tidak terdapat suatu penguasa yang berwenang menetapkan serta memaksakan ketentuan hukum, seperti halnya dalam suasana nasional.
Menyusul diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang PMA, “Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States” disahkan oleh Pemerintah Indonesia. (‘Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa antara Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal). Perjanjian internasional ini tergolong paling awal disahkan oleh Pemerintah Indonesia melalui instrumen ratifikasi berupa Undang-Undang Nomor 5 tahun 1968.8 Secara substansial, Undang-undang No. 5 tahun 1968 hanya berisi 5 (lima) pasal. Ini berarti secara materiil, substansi norma yang berisi perintah, larangan, dan lain-lain yang berasal dari konvensi internasional tersebut-lah yang secara utuh diadopsi dan kemudian menjadi bagian dari hukum positip Indonesia.
Ketika itu Pemerintah Indonesia kembali dipaksa untuk menjawab tuntutan komunitas pelaku usaha swasta, tatkala sengketa yang muncul diantara mereka enggan diselesaikan lewat pengadilan negeri. Kondisi itu pun kemudian kembali memaksa penguasa negeri ini lagi-lagi untuk mengadopsi ketentuan hukum internasional multilateral yang dikenal dengan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.”9 Dengan menggunakan instrumen nasional untuk ratifikasi berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981,10 akhirnya konvensi di atas disahkan, sehingga menjadi bagian dari hukum positip Indonesia.
Ketika itu Mahkamah Agung berbeda pendapat dengan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.11 MA berpendirian bahwa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1981 tentang Pengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” dianggap masih memerlukan peraturan pelaksanaan. Akibatnya putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar negeri tidak dapat dieksekusi oleh Pengadilan Negeri di Indonesia.
Dalam bidang hukum materiil, Indonesia juga mengesahkan beberapa konvensi internasional di antaranya seperti berikut ini:
· Konvensi Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Convention) Nairobi, 1982, dengan instrument nasional Undang-undang Nomor 11 tahun 1985;
· Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention the Law of the Sea) New York 1982, dengan instrumen nasional Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985;
· Convention Establishing the Multilateral Investment Guarantee Agency, Washington DC, 1986, dengan instrumen ratifikasi Keputusan Presiden Nomor 31 tahun 1986.
B. Kerjasama Bilateral Bidang Hukum menjadi Conditio sine Qua non
Mengoptimalkan upaya kerjasama, khususnya dalam bidang hukum di antara negara-negara, terutama di lingkungan anggota ASEAN sebagai komunitas bangsa-bangsa se kawasan tentu merupakan upaya yang sewajarnya untuk dilakukan. Kerjasama tersebut pada gilirannya akan membantu mewujudkan harmonisasi hukum di antara negara-negara anggota ASEAN itu sendiri. Harmonisasi hukum dimaksud dapat digambarkan “sebagai suatu upaya yang dilaksanakan melalui proses untuk membuat hukum nasional dari negara-negara anggota ASEAN memiliki prinsip serta pengaturan yang sama mengenai masalah yang serupa di masing-masing jurisdiksinya”.
Harmonisasi dalam bidang hukum merupakan salah satu tujuan penting dalam menyelenggarakan hubungan-hubungan hukum. Terlebih lagi kawasan ASEAN telah bersepakat membentuk AFTA sebagai kawasan perniagaan negara-negara di Asia Tenggara. Kerjasama bidang hokum yang berujung pada adanya harmonisasi itu penting agar hubunganhubungan hukum yang diatur oleh satu negara akan sejalan atau tidak begitu berbeda dalam penerapannya dengan ketentuan yang berlaku di negara lain.
Berbagai upaya sebagai tindak lanjut dari sejumlah kesepakatan terus dilakukan. Ini banyak dilakukan juga semasa rezim Orde Baru masih kokoh mengendalikan negeri ini. Diantaranya, pertemuan para Menteri Kehakiman dan Jaksa Agung se-ASEAN di Bali pada tanggal 11-12 April 1986, adalah salah satu contoh upaya kesefahaman yang telah menghasilkan dokumen ASEAN Ministerial Understanding on the Organizational Arrangament for Cooperation in the Legal Field. Dari pertemuan itu paling tidak telah dicapai tiga aspek kerjasama bidang hukum di antara negaranegara ASEAN. Ketiga aspek tersebut adalah: (i) pertukaran bahan hukum; (ii) kerjasama di bidang peradilan; dan (iii) kerjasama di bidang pendidikan hukum dan penelitian.
C. Kesepakatan Bilateral yang pernah dilakukan Republik Indonesia
Kerjasama dalam bidang hukum acara perdata atau bidang peradilan yang bersifat multilateral, belum banyak dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, kalau tidak dikatakan tidak pernah ada sama sekali. Namun tanpa mengecilkan arti sebuah kerjasama, pada tingkat regional ASEAN hal itu telah lama dirintis. Dapat disebutkan satu diantara upaya untuk melakukan kesefahaman yang cukup monumental yang pernah dilakukan RI adalah: "Perjanjian Kerjasama di bidang Peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand tahun 1978" ‘(Agreement on Judicial Cooperation between the Republic of Indonesia and the Kingdom of Thailand) 1978’. Kesepakatan kerjasama tersebut didasarkan atas ASEAN Concord of 1976 yang ditandatangani di Bali dan merupakan dasar bagi dilakukannya kerjasama dalam bidang hukum antara negara-negara ASEAN.
Bagi Republik Indonesia, perjanjian kerjasama bilateral dalam bidang peradilan semacam itu merupakan upaya yang pertama kali dirintis di lingkungan negara-negara di kawasan ASEAN bahkan hingga saat ini. Perjanjian tersebut ditandatangani pada tanggal 8 Maret 1978 di Bangkok Thailand. Selanjutnya diratifikasi oleh kedua Negara Masing-masing Negara diwakili oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Menteri Kehakiman Republik Indonesia) dan Dr. Upadit Pachariyangkun (Minister of Foreign Affairs the Kingdom of Thailand).
Tujuan diadakannya perjanjian bilateral tersebut antara lain untuk mempermudah cara penyampaian panggilan dan pemberitahuan resmi dalam perkara perdata yang harus dilakukan apabila pihak yang bersangkutan berada di luar negeri. Di samping itu, perjanjian tersebut diharapkan dapat menjadi suatu model bagi perjanjian-perjanjian berikutnya diantara sesama negara anggota ASEAN lainnya.
Walaupun kenyataannya kerjasama bilateral tersebut masih belum berdaya guna dan berhasil guna, tidak berarti hal itu kurang bermanfaat. Lebih jauh, dalam rangka mengakomodasi kepentingan Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang terhimpun di dalam suatu kawasan atas dasar satu atau beberapa kepentingan yang sama, seperti halnya di dalam ASEAN dengan AFTA. Hal itu diperlukan dengan maksud paling tidak dalam Hukum Perdata ada persamaan-persamaan mendasar yang akan memudahkan pengaturan kemudian segala sesuatu yang menyangkut hal ihwal hubungan perdata dan perdagangan.
Munculnya sengketa-sengketa perdagangan di antara negara-negara anggota ASEAN dengan adanya AFTA maupun di antara negara-negara anggota APEC, harus diantisipasi sejak dini. Oleh karena sangat besar kemungkinan terjadi suatu sengketa dagang diputus oleh pengadilan di salah satu negara anggota perhimpunan di atas, kemudian putusan tersebut dimintakan untuk dieksekusi pada negara lainnya. Kenyataan serupa itu menuntut adanya kerjasama regional dalam bidang peradilan, khusunya menyangkut pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar