Soal pengangguran memang selalu dikutip dalam Pidato kenegaraan Presiden SBY selama tiga tahun terakhir (setiap bulan Agustus). Namun bagi ekonom yang kritis, ada ketidakjelasan atau ketidakkonsistenan dalam kutipan itu. Bahkan berkenaan dengan aspek kuantitatif yang paling sederhana.
Pada tahun 2008, dikatakan: ”Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ‘pertumbuhan disertai pemerataan’ atau ‘growth with equity.’ Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008.”
Pada tahun 2007 hanya dikatakan: “
Pada tahun 2008, dikatakan: ”Pembangunan ekonomi, kita laksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata. Oleh karena itu, strategi yang saya gariskan adalah strategi ‘pertumbuhan disertai pemerataan’ atau ‘growth with equity.’ Percepatan pembangunan ekonomi, telah memberikan dampak yang positif baik pada percepatan penurunan tingkat pengangguran terbuka maupun tingkat kemiskinan. Tingkat pengangguran terbuka pada Februari 2006 mencapai 10,5 persen, kini telah berhasil diturunkan menjadi 8,5 persen pada Februari 2008.”
Pada tahun 2007 hanya dikatakan: “
…..Pengangguran dan kemiskinan masih belum sepenuhnya kita tanggulangi...” Tidak disinggung angka sama sekali.
Pada tahun 2006 dikatakan: ”Tingkat pengangguran telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Penurunan tingkat pengangguran ini baru pertama kali terjadi, setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan.” Perhatikan bahwa yang dipakai sebagai angka dasar (untuk perbandingan) adalah data November 2005 bukannya Februari 2005 (SBY sudah jadi Presiden) yang 10,3 persen.
Ketika angka-angka disebut, kecenderungannya adalah memakai prosentase, bukannya jumlah penganggur secara absolut. Wajar karena jumlah angkatan kerja terus meningkat, sehingga penurunan secara prosentase terlihat lebih baik.
Menarik pula jika dilihat bahwa angka pengangguran di Indonesia sering tidak diperlakukan sebagai indikator makroekonomi oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Anehnya, para pengkritik pemerintah pun kerap berperspektif yang sama. Mereka biasa mengatakan bahwa pemerintah terlampau memperhatikan makroekonomi, sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik.
Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Secara resmi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi definisi, menghitung dan mempublikasikan secara rutin berbagai data bekenaan dengan pengangguran. Menurut BPS, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.
Sementara itu, penduduk yang bekerja atau mempunyai pekerjaan adalah mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus (Sensus Penduduk 2000). Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
BPS menyediakan pula istilah Setengah Pengangguran, yaitu bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Di banyak negara, pengertian ini masih termasuk pengangguran. Jika angka setengah pengangguran dianggap tidak bekerja, maka jumlahnya saat ini masih berkisar 25 juta orang. Angka pengangguran akan masih lebih dari 20 persen.
Persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian adalah upah riil yang diterima para pekerja. Upah riil adalah nilai balas jasa yang diterima pekerja, yang diukur dengan daya belinya terhadap barang dan jasa. Jika upah nominal naik lebih rendah daripada tingkat inflasi, apalagi jika tidak mengalami kenaikan samasekali, maka upah riil dipastikan menurun. Ada indikasi, upah riil pekerja di beberapa sektor usaha mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Persoalan rendahnya imbalan bagi para pekerja ditunjukkan pula oleh data banyaknya orang yang bekerja di sektor usaha berskala mikro, yang biasa disebut sebagai sektor nonformal. BPS sendiri merasa perlu menjelaskan bahwa penurunan angka dan jumlah pengangguran selama beberapa tahun belakangan lebih disebabkan oleh daya serap sektor ini. BPS mengeluarkan data tentang jenis-jenis pekerjaan, yang salah satu klasifikasinya adalah bekerja atau berusaha sendiri. Klasifikasi ini memang tidak hanya mencakup sektor nonformal, namun dalam penjelasan verbalnya dipastikan sebagai yang paling besar porsinya.
Kekhawatiran akan turun, stagnan atau tumbuh secara amat lambat ditujukan pula pada pendapatan riil para petani, yang antara lain diindikasikan oleh nilai tukar petani (NTP). Data NTP dari BPS memang memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan ada kecenderungan untuk stagnan atau menurun. Bahkan, ada yang menduga jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, maka beberapa sektor pertanian rakyat (dilihat dari sisi pendapatan petaninya) mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Kesimpulannya, angka pengangguran yang biasa dikutip dalam pidato kenegaraan Presiden SBY sulit ditafsirkan sebagai indikasi keberhasilan kebijakan ekonomi dari pemerintahannya. Justeru lebih dekat sebagai bukti kegagalan pengelolaan perekonomian nasional.
Pada tahun 2006 dikatakan: ”Tingkat pengangguran telah mulai menurun dari 11,2% pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada awal tahun 2006. Penurunan tingkat pengangguran ini baru pertama kali terjadi, setelah dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan.” Perhatikan bahwa yang dipakai sebagai angka dasar (untuk perbandingan) adalah data November 2005 bukannya Februari 2005 (SBY sudah jadi Presiden) yang 10,3 persen.
Ketika angka-angka disebut, kecenderungannya adalah memakai prosentase, bukannya jumlah penganggur secara absolut. Wajar karena jumlah angkatan kerja terus meningkat, sehingga penurunan secara prosentase terlihat lebih baik.
Menarik pula jika dilihat bahwa angka pengangguran di Indonesia sering tidak diperlakukan sebagai indikator makroekonomi oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengklaim kondisi makroekonomi sangat baik, angka-angka yang biasa diperlihatkan sering tidak mencakup angka pengangguran. Anehnya, para pengkritik pemerintah pun kerap berperspektif yang sama. Mereka biasa mengatakan bahwa pemerintah terlampau memperhatikan makroekonomi, sedangkan masalah pengangguran dan kemiskinan tidak teratasi dengan baik.
Padahal, menurut text book, pengangguran (atau tingkat penggunaan tenaga kerja sebagai kebalikannya) adalah salah satu soal terpenting makroekonomi. Pengangguran sebagai indikator makroekonomi bermanfaat untuk mengetahui bagian dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat, dalam kegiatan memproduksi barang dan jasa selama kurun waktu tertentu.
Secara resmi, Badan Pusat Statistik (BPS) memberi definisi, menghitung dan mempublikasikan secara rutin berbagai data bekenaan dengan pengangguran. Menurut BPS, tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa. Penduduk usia kerja dibagi menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk bukan angkatan kerja. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain.
Sementara itu, penduduk yang bekerja atau mempunyai pekerjaan adalah mereka yang selama seminggu sebelum pencacahan melakukan pekerjaan atau bekerja untuk memperoleh atau membantu memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan tidak boleh terputus (Sensus Penduduk 2000). Pengangguran Terbuka merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
BPS menyediakan pula istilah Setengah Pengangguran, yaitu bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Di banyak negara, pengertian ini masih termasuk pengangguran. Jika angka setengah pengangguran dianggap tidak bekerja, maka jumlahnya saat ini masih berkisar 25 juta orang. Angka pengangguran akan masih lebih dari 20 persen.
Persoalan lain yang juga membutuhkan perhatian adalah upah riil yang diterima para pekerja. Upah riil adalah nilai balas jasa yang diterima pekerja, yang diukur dengan daya belinya terhadap barang dan jasa. Jika upah nominal naik lebih rendah daripada tingkat inflasi, apalagi jika tidak mengalami kenaikan samasekali, maka upah riil dipastikan menurun. Ada indikasi, upah riil pekerja di beberapa sektor usaha mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Persoalan rendahnya imbalan bagi para pekerja ditunjukkan pula oleh data banyaknya orang yang bekerja di sektor usaha berskala mikro, yang biasa disebut sebagai sektor nonformal. BPS sendiri merasa perlu menjelaskan bahwa penurunan angka dan jumlah pengangguran selama beberapa tahun belakangan lebih disebabkan oleh daya serap sektor ini. BPS mengeluarkan data tentang jenis-jenis pekerjaan, yang salah satu klasifikasinya adalah bekerja atau berusaha sendiri. Klasifikasi ini memang tidak hanya mencakup sektor nonformal, namun dalam penjelasan verbalnya dipastikan sebagai yang paling besar porsinya.
Kekhawatiran akan turun, stagnan atau tumbuh secara amat lambat ditujukan pula pada pendapatan riil para petani, yang antara lain diindikasikan oleh nilai tukar petani (NTP). Data NTP dari BPS memang memperlihatkan perkembangan yang fluktuatif selama beberapa tahun terakhir. Namun, belakangan ada kecenderungan untuk stagnan atau menurun. Bahkan, ada yang menduga jika pencermatan dilakukan secara lebih teliti, maka beberapa sektor pertanian rakyat (dilihat dari sisi pendapatan petaninya) mengalami penurunan yang cukup signifikan.
Kesimpulannya, angka pengangguran yang biasa dikutip dalam pidato kenegaraan Presiden SBY sulit ditafsirkan sebagai indikasi keberhasilan kebijakan ekonomi dari pemerintahannya. Justeru lebih dekat sebagai bukti kegagalan pengelolaan perekonomian nasional.
Kamis, 17 Desember 2009
Angka Pengangguran Terbuka Kurang Menggambarkan Kondisi Ketenagakerjaan di Indonesia
Pada tanggal 1 Desember 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data ketenagakerjaan untuk kondisi Agustus 2009. Disebutkan antara lain : angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang, yang bekerja sebanyak 104,87 juta orang, pengangguran terbuka sebanyak 8,96 juta orang atau sekitar 7,87 %, serta setengah pengangguran sebanyak 31,57 juta orang atau sekitar 27,73 %.
Pengangguran Terbuka
Angka pengangguran terbuka mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi bulan februari 2009 yang sebesar 8,14 %, dan juga lebih rendah daripada kondisi setahun lalu, yakni 8,39 % pada Agustus 2008. Jika dilihat dari jumlah orang yang menganggur, maka terdapat penurunan sebanyak 430 ribu orang (dari 9,13 menjadi 8,96 juta orang) selama periode setahun.
Dengan demikian, selama periode Pemerintahan SBY yang pertama, tercipta lapangan kerja baru untuk sebanyak 11,15 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 104,87 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Jumlah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 10,25 juta orang atau sebesar 9,90%.
Artinya, laju penciptaan lapangan kerja hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Prestasi itu masih jauh dari target yang ditetapkan sendiri pada awal periode pemerintahan, yang ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1 % pada tahun 2009.
Setengah Pengangguran
Pada Agustus 2009, ada 31,57 juta orang setengah pengangguran atau 27,73 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 15,40 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang.
Sebagai catatan, setengah pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi setengah penganggur terpaksa dan setengah penganggur sukarela. Setengah penganggur terpaksa adalah mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain. Setengah penganggur sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar.
Angka setengah pengangguran selama pemerintahan SBY periode pertama tampak mengalami perkembangan yang lebih buruk daripada kondisi pengangguran terbuka. Angka setengah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 27,95 juta orang atau sebesar 26,88 %. Artinya, selama periode itu, terjadi penambahan jumlah setengah pengangguran sebanyak 3,62 juta orang dan prosentasenya meningkat menjadi 27,73 % dari angkatan kerja.
Jika dicermati lebih jauh, maka jumlah setengah pengangguran yang terpaksa juga mengalami perkembangan yang tidak menggembirakan. Dari 13,42 juta orang pada Agustus 2004 menjadi 15,40 juta orang pada Agustus 2009. Mereka memang dianggap telah bekerja, namun sebenarnya masih mencari dan berharap akan pekerjaan lainnya yang lebih baik.
Status Pekerjaan
Dari 104,87 juta orang yang bekerja pada periode Agustus 2009, BPS juga mengelompokkan mereka menurut tujuh status pekerjaan utama. Berusaha sendiri sebanyak 21,05 juta orang (20,07%). Berusaha dibantu buruh tidak tetap 21,93 juta orang (20,91%). Berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 3,03 juta orang (2,89%). Buruh/Karyawan 29,11 juta orang (27,76%). Pekerja bebas di pertanian sebanyak 5,88 juta orang (5,61%). Pekerja bebas di Non pertanian sebanyak 5,67 juta orang (5,41%). Pekerja keluarga/tidak dibayar sebanyak 18,19 juta orang (17,35%).
BPS juga mengumumkan keadaan ketenagakerjaan yang menggolongkan kegiatan bekerja menjadi formal dan informal, yang secara kasar didefinisikan berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan. Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Agustus 2008 sekitar 32,14 juta orang (30,65%) bekerja pada kegiatan formal dan 72,73 juta orang (69,35 %) bekerja pada kegiatan informal.
Sebagai catatan, BPS mendefinisikan Berusaha dibantu dengan buruh tetap adalah mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas risiko sendiri dan dalam usahanya mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh tetap. Buruh tetap adalah buruh/karyawan yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah atau gaji secara tetap, baik ada kegiatan maupun tidak. Buruh/Karyawan/Pekerja dibayar adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.
Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti selama lima tahun terakhir, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Perkembangan perekonomian Indonesia terlihat kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).
Lapangan Pekerjaan
Proses informalisasi ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan tampaknya didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sebagai contoh, sektor industri pengolahan menyerap 11,07 juta pada Agustus 2004 dan 12,84 juta pada Agustus 2009. Jasa Kemasyarakatan, naik dari (Agustus 2004) menjadi 14,00 juta (Agustus 2009). Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal.
Selain menguatkan indikasi informalisasi pekerjaan, fakta ini pun membuat perkembangan industrialisasi di Indonesia mesti lebih diperhatikan karena tidak cukup berhasil menciptakan lapangan kerja. Hanya menciptakan 1,77 juta lapangan kerja selama lima tahun. Padahal, meski secara implisit, Pemerintah ingin mengalihkan sebagian tenaga kerja di sektor pertanian ke sektor industri seiring dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin tinggi. Di sisi lain, justeru sektor pertanian masih saja menjadi tempat penampungan tenaga kerja, meningkat dari 40,61 juta (Agustus 2004) menjadi 41,61 juta (Agustus 2009). Penyerapan sektor pertanian biasanya secara relatif (pada tahun yang sama) akan lebih tinggi untuk data ketenagakerjaan bulan Februari, karena adanya panen raya di banyak daerah.
Selengkapnya, pada Agustus 2009, mereka yang bekerja tersebar menurut lapangan pekerjaan berikut: sektor pertanian sebanyak 41,61 juta orang (39,68%), sektor industri sebanyak 12,84 juta orang (12,24%), sektor konstruksi sebanyak 5,49 juta orang (5,24%), sektor perdagangan sebanyak 21,95 juta orang (20,09%), sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi sebanyak 6,12 juta orang (5,84%), sektor Keuangan sebanyak 1,49 juta orang (1,42%), Jasa Kemasyarakatan sebanyak 14,00 juta orang (13,34%), Sektor lainnya sebanyak 1,39 juta orang (1,33%).
Kesimpulan sementara yang bisa diambil, angka pengangguran terbuka terlampau sederhana, sehingga tak cukup mampu menggambarkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya di Indonesia. Ukuran bekerja 1 jam terlampau minimalis, dan arti dibayar pun tak terkait dengan nominal yang pantas untuk bertahan hidup sebagai manusia. Data sektoral pekerjaan pun memerlukan pemilahan yang lebih jelas dan diketahui publik luas.
Pada tanggal 1 Desember 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data ketenagakerjaan untuk kondisi Agustus 2009. Disebutkan antara lain : angkatan kerja sebanyak 113,83 juta orang, yang bekerja sebanyak 104,87 juta orang, pengangguran terbuka sebanyak 8,96 juta orang atau sekitar 7,87 %, serta setengah pengangguran sebanyak 31,57 juta orang atau sekitar 27,73 %.
Pengangguran Terbuka
Angka pengangguran terbuka mengalami penurunan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi bulan februari 2009 yang sebesar 8,14 %, dan juga lebih rendah daripada kondisi setahun lalu, yakni 8,39 % pada Agustus 2008. Jika dilihat dari jumlah orang yang menganggur, maka terdapat penurunan sebanyak 430 ribu orang (dari 9,13 menjadi 8,96 juta orang) selama periode setahun.
Dengan demikian, selama periode Pemerintahan SBY yang pertama, tercipta lapangan kerja baru untuk sebanyak 11,15 juta orang (dari 93,72 juta menjadi 104,87 juta). Sementara angkatan kerja bertambah sebanyak 7,98 juta orang (dari 103,97 juta menjadi 111,95 juta). Jumlah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 10,25 juta orang atau sebesar 9,90%.
Artinya, laju penciptaan lapangan kerja hanya sedikit diatas laju pertumbuhan angkatan kerja. Prestasi itu masih jauh dari target yang ditetapkan sendiri pada awal periode pemerintahan, yang ingin menekan angka pengangguran menjadi 5,1 % pada tahun 2009.
Setengah Pengangguran
Pada Agustus 2009, ada 31,57 juta orang setengah pengangguran atau 27,73 %. Terdiri dari setengah penganggur terpaksa sebanyak 15,40 juta orang dan setengah penganggur sukarela sebanyak 16,17 juta orang.
Sebagai catatan, setengah pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu). Setengah pengangguran dibagi menjadi setengah penganggur terpaksa dan setengah penganggur sukarela. Setengah penganggur terpaksa adalah mereka yang bekerja dibawah jam kerja normal dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan lain. Setengah penganggur sukarela adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan lain, misalnya tenaga ahli yang gajinya sangat besar.
Angka setengah pengangguran selama pemerintahan SBY periode pertama tampak mengalami perkembangan yang lebih buruk daripada kondisi pengangguran terbuka. Angka setengah pengangguran pada Agustus 2004 (dua bulan sebelum pelantikan Presiden) adalah sebanyak 27,95 juta orang atau sebesar 26,88 %. Artinya, selama periode itu, terjadi penambahan jumlah setengah pengangguran sebanyak 3,62 juta orang dan prosentasenya meningkat menjadi 27,73 % dari angkatan kerja.
Jika dicermati lebih jauh, maka jumlah setengah pengangguran yang terpaksa juga mengalami perkembangan yang tidak menggembirakan. Dari 13,42 juta orang pada Agustus 2004 menjadi 15,40 juta orang pada Agustus 2009. Mereka memang dianggap telah bekerja, namun sebenarnya masih mencari dan berharap akan pekerjaan lainnya yang lebih baik.
Status Pekerjaan
Dari 104,87 juta orang yang bekerja pada periode Agustus 2009, BPS juga mengelompokkan mereka menurut tujuh status pekerjaan utama. Berusaha sendiri sebanyak 21,05 juta orang (20,07%). Berusaha dibantu buruh tidak tetap 21,93 juta orang (20,91%). Berusaha dibantu buruh tetap sebanyak 3,03 juta orang (2,89%). Buruh/Karyawan 29,11 juta orang (27,76%). Pekerja bebas di pertanian sebanyak 5,88 juta orang (5,61%). Pekerja bebas di Non pertanian sebanyak 5,67 juta orang (5,41%). Pekerja keluarga/tidak dibayar sebanyak 18,19 juta orang (17,35%).
BPS juga mengumumkan keadaan ketenagakerjaan yang menggolongkan kegiatan bekerja menjadi formal dan informal, yang secara kasar didefinisikan berdasarkan status pekerjaan. Dari tujuh kategori status pekerjaan utama, pekerja formal mencakup kategori berusaha dengan dibantu buruh tetap dan kategori buruh/karyawan. Jika melihat status pekerjaan berdasarkan klasifikasi formal dan informal, maka pada Agustus 2008 sekitar 32,14 juta orang (30,65%) bekerja pada kegiatan formal dan 72,73 juta orang (69,35 %) bekerja pada kegiatan informal.
Sebagai catatan, BPS mendefinisikan Berusaha dibantu dengan buruh tetap adalah mereka yang bekerja sebagai orang yang berusaha atas risiko sendiri dan dalam usahanya mempekerjakan paling sedikit satu orang buruh tetap. Buruh tetap adalah buruh/karyawan yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah atau gaji secara tetap, baik ada kegiatan maupun tidak. Buruh/Karyawan/Pekerja dibayar adalah mereka yang bekerja pada orang lain atau instansi/kantor/perusahaan dengan menerima upah/gaji baik berupa uang maupun barang.
Jika melihat komposisi antara pekerja formal dan informal, maka tampak tidak adanya perbaikan yang berarti selama lima tahun terakhir, meski sempat ada sedikit perbaikan dalam dua tahun pertama. Jumlah pekerja formal pada Agustus 2004 adalah sebanyak 28,43 juta orang atau sebesar 30,33%, sedangkan pekerja informal adalah sebanyak 65,30 juta orang atau sebesar 69,67% dari mereka yang bekerja. Perkembangan perekonomian Indonesia terlihat kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru di sektor formal yang banyak diinginkan oleh para pencari kerja dan para pekerja informal (yang sebagian cukup besarnya berstatus setengah penganggur).
Lapangan Pekerjaan
Proses informalisasi ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari status pekerjaan tampaknya didukung pula oleh data penyebaran pekerja berdasar lapangan pekerjaan. Sebagai contoh, sektor industri pengolahan menyerap 11,07 juta pada Agustus 2004 dan 12,84 juta pada Agustus 2009. Jasa Kemasyarakatan, naik dari (Agustus 2004) menjadi 14,00 juta (Agustus 2009). Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal. Sekalipun tidak sepenuhnya bisa diartikan bahwa mereka yang bekerja di sektor industri pengolahan adalah formal, sedangkan yang di sektor jasa-jasa (masyarakat) adalah informal.
Selain menguatkan indikasi informalisasi pekerjaan, fakta ini pun membuat perkembangan industrialisasi di Indonesia mesti lebih diperhatikan karena tidak cukup berhasil menciptakan lapangan kerja. Hanya menciptakan 1,77 juta lapangan kerja selama lima tahun. Padahal, meski secara implisit, Pemerintah ingin mengalihkan sebagian tenaga kerja di sektor pertanian ke sektor industri seiring dengan tingkat pembangunan ekonomi yang semakin tinggi. Di sisi lain, justeru sektor pertanian masih saja menjadi tempat penampungan tenaga kerja, meningkat dari 40,61 juta (Agustus 2004) menjadi 41,61 juta (Agustus 2009). Penyerapan sektor pertanian biasanya secara relatif (pada tahun yang sama) akan lebih tinggi untuk data ketenagakerjaan bulan Februari, karena adanya panen raya di banyak daerah.
Selengkapnya, pada Agustus 2009, mereka yang bekerja tersebar menurut lapangan pekerjaan berikut: sektor pertanian sebanyak 41,61 juta orang (39,68%), sektor industri sebanyak 12,84 juta orang (12,24%), sektor konstruksi sebanyak 5,49 juta orang (5,24%), sektor perdagangan sebanyak 21,95 juta orang (20,09%), sektor Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi sebanyak 6,12 juta orang (5,84%), sektor Keuangan sebanyak 1,49 juta orang (1,42%), Jasa Kemasyarakatan sebanyak 14,00 juta orang (13,34%), Sektor lainnya sebanyak 1,39 juta orang (1,33%).
Kesimpulan sementara yang bisa diambil, angka pengangguran terbuka terlampau sederhana, sehingga tak cukup mampu menggambarkan kondisi ketenagakerjaan yang sebenarnya di Indonesia. Ukuran bekerja 1 jam terlampau minimalis, dan arti dibayar pun tak terkait dengan nominal yang pantas untuk bertahan hidup sebagai manusia. Data sektoral pekerjaan pun memerlukan pemilahan yang lebih jelas dan diketahui publik luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar